Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Petani yang Bertahan di Tengah Gempuran Limbah Industri

“Biaya produksi dari mulai benih, pupuk, hingga upah petani sekitar Rp 1 juta per petak,” ujar Olih

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Kisah Petani yang Bertahan di Tengah Gempuran Limbah Industri
KOMPAS.com/Reni Susanti
Uji coba penanaman padi organik di Kecamatan Rancaekek yang teraliri limbah industri dinyatakan berhasil. Jumlah produksi padi naik lebih dari 100 persen 

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Senyuman berkembang di bibir Olih Solihin (53). Senyuman yang nyaris tak pernah terlihat sejak 1991 lalu setelah sawahnya kerap gagal panen. Alasannya karena satu, tercemar limbah salah satu pabrik besar di Bandung, PT Kahatex yang berdiri sekitar tahun 1991.

Sejak berdiri, PT Kahatex diduga membuang limbahnya langsung ke Sungai Cikijing. Padahal aliran Sungai Ciking merupakan sumber utama pengairan sawah di Rancaekek dan sekitarnya. Akibat limbah yang di antaranya mengandung BOD dan COD ini, padi yang ditanam mati. Kalaupun hidup, padi yang dihasilkan kempes alias gagal panen (puso).

Meski demikian, Olih tetap bertahan. Pada musim tanam, ia tetap menanam padi dengan harapan hasil yang diperoleh lebih baik. Namun saat panen, ia kembali kecewa karena hasil yang diperoleh jauh dari harapan. Bahkan, ada kalanya ia rugi dan tidak mampu menutup biaya produksi.

“Biaya produksi dari mulai benih, pupuk, hingga upah petani sekitar Rp 1 juta per petak,” ujar Olih kepada Kompas.com, belum lama ini di Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Kerap rugi

Olih mengungkapkan, tahun 1980-an, beras Rancaekek menjadi yang terbaik di nasional. Harganya pun sangat tinggi dibanding yang lain. Namun kini, beras Rancaekek jelek dan harganya pun di bawah rata-rata. Jika di kampung lain gabah kering dihargai Rp 500.000 per kuintal, di Rancaekek hanya Rp 480.000 per kuintal.

“Kami kerap rugi. Tapi kami tidak menyerah. Gagal, tanam lagi. Gagal lagi, ya terus tanam lagi. Walaupun memang hasilnya tidak banyak perubahan. Kalau dulu satu petak sawah bisa menghasilkan 1 ton gabah, kini paling banyak hanya 6 kuintal,” ungkap Olih.

Berita Rekomendasi

Sebenarnya, sambung Olih, banyak petani yang enggan bertani. Namun mereka tidak banyak pilihan selain harus menanami lahannya. Karena setidaknya, mereka bisa memperpanjang hidup dan menaruh harapan hasil padi akan membaik. Untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari, banyak petani yang menyambi jadi tukang ojek.

“Kalau tidak ngojeg mau makan dari mana. Sudah nyambi juga makan hanya seadanya sama sayur, tempe, tahu, atau asin,” imbuhnya.

Harapan baru

Setelah lebih dari 10 tahun berduka, harapan baru muncul ketika sekelompok relawan membuat percontohan penanaman padi organik di lokasi tersebut. Proses ini mereka sebut bioremediasi, yakni dari mulai pembenihan, pemberian pupuk, hingga panen menggunakan cara organik. Terutama dalam hal pupuk, mereka menggunakan pupuk organik yang dibuat sendiri.

“Yang dijadikan percontohan satu petak ini. Lihatlah hasilnya, luar biasa. Baru kali ini saya melihat padi di sini berisi. Dan, lihatlah sawah sekelilingnya, tidak bisa dipanen karena padinya kempes, enggak ada isinya,” tutur Olih membandingkan sawah garapannya dengan milik orang lain.

Pendamping Olih dari Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapeling), Adi M Yadi menjelaskan, bioremediasi ini berhasil meningkatkan produksi padi. Di sawah percontohan yang hanya satu petak tersebut, padi yang dihasilkan mencapai 940 kg gabah basah. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat dari sebelumnya 400 kg.

Keberhasilan utamanya ada pada pupuk organik yang mereka produksi sendiri, yakni bakteri hasil fermentasi tumbuhan dan serangga selama dua bulan sehingga menjadi pupuk cair organik.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas