Tragedi 1965, Mbah Dirman Selamat karena Peluru Senjata Habis
Mbah Dirman berhasil selamat karena senjata yang digunakan untuk menembak habis.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Sembari dipapah anaknya, Sudirman atau Mbah Dirman kini telah berusia 84 tahun, mendatangi makam teman-temannya yang "hilang" dalam peristiwa berdarah 1965.
Para korban diketahui ditemukan dalam kondisi terkubur di dalam dua liang lahad, yang berada di Dukuh Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Mbah Dirman mengaku melihat teman-temannya tewas saat peristiwa tersebut.
Saat itu, dia ikut dalam rombongan itu menaiki sebuah truk. Seperti teman-temannya, ia dibawa ke tempat yang berada di tengah eksekusi di tengah hutan.
Namun, beruntung, Mbah Dirman berhasil selamat karena peluru senjata yang digunakan untuk menembak habis. Kisah Mbah Dirman diungkap ketika dia bersama para sanak keluarga para korban berkunjung ke makam tersebut.
"Saya kenal semua yang ada di makam itu. Saya akrab dengan mereka," kata pria asal Kabupaten Kendal itu, Senin (1/6/2015).
Setelah tak jadi dieksekusi, dia lantas dibawa kembali ke tahanan di Pabrik Padi Plantaran di Kaliwungu, Kendal. Ia pun menjalani tahanan politik di tempat tersebut hingga bisa bebas setelah umur 50 tahun.
"Saya lolos dari tembakan karena peluru habis. Setelah itu, saya dibawa lagi ke tahanan," ujarnya.
Dari ditahan hingga akan dieksekusi, dia tak tahu kesalahan yang diperbuat. Pihaknya juga tidak pernah diajukan ke persidangan atas dugaan perkara yang diperbuatnya.
Selain Mbah Dirman, ada orang yang juga selamat dari peristiwa berdarah tersebut, yakni Wagiyono. Namun, Wagiyono sudah meninggal dan dikebumikan pada 1977 silam.
Anak Wagiyono, KRT Dwi Hasto Citronegoro, mengaku tahu ketika ayahnya dibawa dan ditahan di Pabrik Padi Plantaran, Kaliwungu, Kendal.
Menurut dia, saat ayahnya dibawa, tidak ada alasan yang jelas. Ayahnya pun tidak pernah tersangkut pidana, apalagi menjalani proses sidang di pengadilan.
"Saat itu, saya masih kecil, baru 8 tahun. Bapak saya ditahan, kemudian dikeluarkan lagi. Saat ditahan tidak ada alasan, mungkin karena bapak saya dulu anggota Pemuda Rakyat," ujar Dwi Hasto.
Dia mengaku bahwa sang ayah adalah seorang kepala desa atau yang dulu disebut Buwono. Selain itu, ayahnya juga seorang Ketua Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) wilayah Kendal.
"Bapak saya ditahan, tetapi sudah pulang," kata pria yang berpofesi sebagai dalang tersebut.
Kini, jenazah 24 orang yang ditemukan di dua liang lahad di makam Plumbon diberi nisan. Belum diketahui secara pasti nama-nama para korban.
Sejauh ini, pegiat hak asasi manusia Kota Semarang baru menemukan delapan nama dari 24 korban eks korban 1965.(Kontributor Semarang, Nazar Nurdin)