Trafficking Sasar Lulusan Sekolah Pariwisata, Ini Modusnya
Di sebuah desa wilayah Gianyar, Bali, sempat dihebohkan dengan kepergian seorang gadis yang bekerja di Jepang.
Editor: Budi Prasetyo
Laporan Wartawan Tribun Bali, Luh De Dwi Jayanthi
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR – Di sebuah desa wilayah Gianyar, Bali, sempat dihebohkan dengan kepergian seorang gadis yang bekerja di Jepang.
Saat itu, gadis ini dijanjikan bekerja sebagai penari.
Namun yang terjadi, gadis tersebut malah dijadikan pekerja seks.
"Gadis ini dulu ke Jepang dengan menggunakan visa yang namanya visa impresariat, visa ini bagi pertukaran budaya perorangan. Namun sekarang itu sudah tak ada," kata aktivis perempuan Luh Putu Anggreni, Sabtu (15/8/2015).
Saat itu keluarga gadis ini percaya karena pencariannya dilakukan di media massa.
Anggraeni menceritakan gadis itu sebenarnya cerdas dan jiwanya memang ingin bekerja sebagai penari.
Beruntung saat itu gadis tersebut berani berontak.
Padahal ia diancam perusahaan itu.
Akhirnya keluarga gadis itu minta bantuan ke Puri Peliatan dan mengurus kasusnya ke Kedutaan Indonesia di Jepang.
Setelah proses panjang, akhirnya penari itu bisa pulang dan lepas dari jerat pelaku humman trafficking.
“Kejadian ini tahun 2002, saat itu tidak diketahui berapa orang yang dari Bali mengalami hal serupa,” ulasnya saat berbicara di seminar mengenai perdagangan manusia di Universitas Udayana (Unud).
Anggreni yang aktif juga di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Denpasar ini, menjelaskan human trafficking di Bali ada berbagai macam bentuknya.
Modus yang paling sering itu seperti pekerja spa plus-plus, pekerja kafe.
Kemudian menyasar juga lulusan sekolah pariwisata yang ingin bekerja ke luar negeri.
Modus trafficking itu alurnya mulai dari perekrutan, pengiriman, penampungan selanjutnya disebar di daerah tertentu.
Anggreni menyarankan agar ketika melamar pekerjaan itu harus teliti mengenai fasilitas yang diberikan, terlebih jika di luar negeri.
"Calon pekerja harus tahu dokumen-dokumen penting yang harus disepakati seperti dokumen kontrak," tuturnya.
Dia juga mengingatkan, Bali mengalami tantangan besar karena banyak modus yang dilakukan.
"Bali sebagai daerah pariwisata memiliki potensi yang besar dijadikan modus traffiking untuk prostitusi perempuan dan anak dari luar daerah."
Divisi Hukum Migrant Care, Syaipul Anas, menginginkan adanya Rativikasi Konvensi ILO 189 tentang kerja layak Pembantu Rumah Tangga dan mengesahkan RUU Perlindungan Kerja Rumah Tangga.
"Ke depannya, saya ingin mewujudkan peraturan imigrasi mulai dari tingkat desa, peraturan gubernur hingga pemerintahan pusat. Dengan demikian dapat meminimalkan perdagangan manusia," paparnya.
Dekan Fakultas Hukum, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, mengatakan kasus perdagangan manusia hingga saat ini masih sulit tersentuh hukum.
“Perlu langkah aktif dalam pencegahan dan penanggulangannya,” katanya.
Ia menyebut kasus ini seperti fenomea gunung es, banyak faktor yang berperan termasuk soal faktor ekonomi, sosial dan budaya.
Sayangnya belum diketahui jumlah kasus ini di Bali.
Jessie Brunner, dari WSD HANDA Center, menyampaikan tentang pendekatan yang dilakukan saat pengumpulan data untuk perdagangan manusia.
"Data yang valid itu sangat penting untuk pencegahan perdagangan manusia yang efektif dan respon yang strategis," jelas Jessie. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.