Meski Tanpa Tangan dan Kaki, Achmad Dzulkarnain Taklukkan Puncak Gunung Ijen
Achmad Dzulkarnain, yang memiliki keterbatasan fisik berhasil mencapai puncak Gunung Ijen yang berada di perbatasan Banyuwangi dan Situbondo.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM BANYUWANGI - Achmad Dzulkarnain, pemuda asal Desa Benelanlor, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur, yang memiliki keterbatasan fisik berhasil mencapai puncak Gunung Ijen yang berada di perbatasan Banyuwangi dan Situbondo.
Kepada Kompas.com, Selasa (8/9/2015), lelaki yang akrab dipanggil Dzuel bercerita jika keinginan dia untuk mendaki Gunung Ijen, awalnya hanya sekadar mimpi, karena fisiknya yang tidak memungkinkan untuk mendaki gunung dengan ketinggian 2.444 meter itu.
Sebelumnya, lelaki yang menekuni hobi fotografi tersebut pernah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti hunting fotografi Ijen series, namun batal karena kondisi fisiknya.
"Saat itu saya mikir bagaimana caranya saya naik ke atas. Pasti akan merepotkan banyak orang," kata dia.
Dia sempat berpikir untuk meminta bantuan dari penambang belerang untuk menggendongnya, namun dia belum percaya diri.
"Saya masih belum siap saat itu," kata dia.
Kesempatan kedua muncul saat rekan-rekannya yang bergabung dalam komunitas Art Osing Singonjuruh berencana untuk mendaki Gunung Ijen dan menawari Dzuel untuk bergabung. Lalu mereka menawarkan ide dengan menggendong Dzuel dengan tas ransel pendaki gunung.
"Saat itu mereka meyakinkan diri saya bahwa pasti bisa sampai ke puncak. Akhirnya saya dimasukkan di dalam tas carrier teman saya dan digendong secara bergantian oleh rekan-rekan saya," kata Dzuel.
Dzuel juga dipinjami jaket tebal untuk melindungi tubuhnya dari udara gunung yang sangat dingin. Jaket tersebut dilipat menjadi dua karena terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil.
Perjalanan ke atas bukannya tanpa kendala, jika rekan-rekannya kelelahan, lelaki lajang dengan bobot sekitar 40 kilogram tersebut, memilih untuk turun dan jalan sendiri.
"Saat menjelang puncak saya jalan sendiri karena sudah tidak tega melihat rekan-rekan saya. Mereka kelelahan karena menggendong saya," ujar Dzuel.
Dzuel bersama lima rekannya berangkat dari Paltuding jam 2 dini hari dan baru sampai puncak Ijen sekitar 06.30 WIB.
"Kurang lebih lima jam karena kami banyak berhentinya. Memang tidak bisa motret blue fire tapi itu bukan tujuan utama. Karena yang terpenting saya bisa membuktikan bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi untuk beraktivitas seperti oragn normal lainnya," kata dia.
Saat menginjakkan kaki di puncak Gunung Ijen, ia mengaku masih belum percaya dan langsung melakukan sujud syukur.
"Apa ini mimpi yaa. Saya sampai mukul-mukul kepala sendiri. Tidak nyangka bisa sampai sana. Banyak yang nangis dan ngajak saya selfie," kata dia sambil tertawa.
Masalah baru muncul saat mereka memutuskan untuk turun. Kondisi rekan-rekannya yang kelelahan membuat Dzuel tidak tega untuk meminta bantuan. Akhirnya, dia memutuskan untuk turun dengan bantuan penambang belerang.
"Saya akhirnya turun dengan naik gerobak yang biasanya untuk bawa belerang. Penambang awalnya tidak meminta ongkos katanya enggak tega lihat saya tapi tetap saya kasih walau tidak banyak," kata dia.
Dia mengaku pengalaman pertamanya tersebut tidak akan dilupakan dan menjadi motivasi baginya bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika berusaha.
"Awalnya hanya mimpi lalu saya dibantu mewujudkannya dengan sahabat-sahabat saya. Ini luar biasa walaupun bagian bawah kaki saya lecet dan terluka tapi tidak masalah, nanti juga sembuh, yang penting saya bisa wujudkan mimpi saya," ujar Dzuel. (Kompas.com)