Inilah Pengakuan Korban Kriminalisasi Aparat Kepolisian
Beberapa korban mengungkapkan fakta ini dalam workshop Gelar Perkara : Pemidanaan yang Dipaksakan di Hotel Santika, Selasa (15/9/2015).
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Terperiksa atau tersangka sering mendapat perlakuan kekerasan, baik fisik maupun non-fisik, dari penyidik. Tapi hanya segelintir yang berani mengungkapkan dihadapan publik.
Beberapa korban mengungkapkan fakta ini dalam workshop Gelar Perkara : Pemidanaan yang Dipaksakan di Hotel Santika, Selasa (15/9/2015).
Waorkshop ini dihadiri perwakilan petani asal Kediri dan Banyuwangi, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Bambang Wijayanto, Dosen Universitas Brawijaya (UB), Fahrizal Affandi, dan Aktivis Koalisi Anti-Kriminalisasi, Ratna Hastasari, hadir sebagai hakim ahli.
Kuncoro, petani dan pedagang benih jagung curah yang pernah ditangkap anggota Satreskrim Polres Kediri, Januari 2010, dituduh memalsukan benih milik PT BISI sehingga dipenjara selama delapan bulan.
Kuncoro mengaku tidak ada pendamping saat petugas datang ke rumahnya. Bahkan tidak ada saksi, baik dari keluarga maupun pengurus RT/RW.
Menurutnya, petugas tidak menunjukkan surat penangkapan atau penggeledahan tapi petugas membawa 8 ton jagung dan 2 kwintal padi miliknya.
“Kata petugas, itu Barang Bukti (BB). Tidak disebutkan terkait kasus apa dan pasal berapa,” kata Kuncoro.
Kuncoro tidak langsung menjalani pemeriksaan di Mapolres tapi justru langsung menjebloskannya ke sel tahanan. Baru pada keesokkan harinya Kuncoro menjalani pemeriksaan.
Penyidik selalu memintanya mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Kuncoro pun bersikukuh tidak mengakui perbuatan itu.
Kuncoro mengaku tidak pernah mengalami kekerasan selama penyidikan. Tapi penyidik empat kali mengeluarkan ancaman.
Penyidik yang disebut bernama Didik itu akan memukulnya bila Kuncoro tidak mengakui pemalsuan itu. “Kalau tidak ngaku, kamu tak tonjok. Tapi saya tetap tidak mengakui,” tambahnya.
Penyidik pun mengenakan pasal tidak konsisten. Awalnya Kuncoro dijerat dengan pasal pemalsuan.
Karena tidak terbukti, penyidik mengubah dengan pasal pengedaran budidaya tanaman tanpa izin. Padahal bibit miliknya berbeda dengan bibit produk PT BISI.
Menurutnya, bibit dari PT BISI baru bisa panen sekitar 120 hari, sedangkan bibit miliknya bisa dipanen setelah 90 hari.
“Kejaksaan sempat minta saya mengurus izin. Saya kan petani, tidak tahu mengurus izin kemana,” terang Kuncoro.
Pimpinan KPK non-aktif, Bambang Wijayanto menyatakan, perkara yang dipaksakan bisa dilihat dari beberapa indikator.
Biasarnya berkas kasus itu bolak-balik dari polisi ke Kejaksaan karena penyidik kesulitan menemukan alat bukti.
Selain itu, alat bukti yang disodorkan pun cenderung dipaksakan, bahkan kadang kurang kuat.
“Dalam beberapa kasus, ada kerjasama antara pihak-pihak tertentu sehingga berkasnya mulus,” kata Bambang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.