Kasus Salim Kancil, Komisi III DPR RI Temukan Indikasi Keterlibatan Anggota Polisi
Anggota dewan juga menemukan adanya indikasi keterlibatan anggota polisi di belakang Kades Hariyono.
Editor: Wahid Nurdin
Laporan wartawan Surya, Sri Wahyunik
TRIBUNNEWS.COM, LUMAJANG - Komisi III DPR RI menyatakan negara tidak hadir selama 17 hari di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Ketidakhadiran negara itu membuat nyawa rakyat bernama Salim Kancil melayang dan rakyat teraniaya.
"Mulai tanggal 10 - 26 September negara tidak hadir. Rakyat sudah berkali-kali melaporkan penambangan ilegal itu, tetapi ada pembiaran," ujar Akbar Faisal, anggota Komisi III.
Ketidakhadiran negara itu didapatkan Komisi III setelah mereka mengunjungi Selok Awar-Awar, Jumat (2/10/2015).
Komisi III mengumpulkan keterangan dari sejumlah petani sekitar tambang, warga desa, keluarga korban, juga Kapolsek dan Camat Pasirian.
Mereka menemukan sejumlah hal yang dirasa janggal, kemudian temuan itu mereka paparkan kepada Kapolda Jatim Irjen Anton Setiadji, Bupati As'at Malik dan sejumlah pihak yang hadir di Pendapa Kabupaten Lumajang, Jumat (2/10/2015) sore tadi.
Temuan itu antara lain ketidakhadiran piranti negara selama rentang waktu tersebut sampai akhirnya terjadi penganiayaan warga penolak tambang.
Bahkan sampai terjadinya pembunuhan Salim Kancil.
Hal senada disampaikan anggota Komisi III, Taufiqulhadi.
Taufiqul yang berangkat dari Dapil Jember - Lumajang itu menegaskan jika peristiwa Selok Awar-Awar menjadi bukti bahwa negara tidak hadir.
"Penambangan itu ilegal, tetapi dibiarkan. Warga tidak mendapat perlindungan oleh negara sampai akhirnya pihak non-negara memanfaatkan itu," tegasnya.
Ia menyebutkan logika katidakhadiran negara itu antara lain bahwa penganiayaan itu dilakukan di balai desa (mewakili tempat kekuasaan paling bawah dalam sistem kenegaraan Indonesia).
Letak kantor Kepolisian Sektor juga hanya berjarak tempuh sekitar 10 menit dari desa itu.
"Warga setempat takut untuk bicara, padahal mereka tidak setuju penambangan ilegal itu. Potensi konflik akibat tambang ini sudah terbaca lama, tetapi ada pembiaran," imbuh Masinton Pasaribu.
Masinton juga melihat persoalan penambangan ilegal tidam hanya berhenti sampai ke kepala desa saja.
Melihat temuan-temuan di lapangan, Komisi III kepada Kapolda secara tegas untuk tidak menghentikan kasus tersebut hanya di kepala desa saja.
"Kami minta Kapolda untuk menelusuri pasir itu sampai di mana, pembelinya siapa, ditampung di mana. Kedua, menelusuri siapa yang melindungi Pak Kades, berapa jasanya," tegas Pimpinan Komisi III Benny Kaharman.
Ketiga, lanjut dia, kepolisian segera berkoordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk melindungi saksi dan keluarga korban.
Karena Komisi III meyakini Kades Hariyono tidak bermain sendiri dalam penambangan ilegal itu.
Komisi III menemukan jika Hariyono sudah menerima kontrak pembelian pasir sampai setahun ke depan.
Anggota dewan juga menemukan adanya indikasi keterlibatan anggota polisi di belakang Kades Hariyono.
Dari pantauan Surya (Tribunnews.com network), Komisi III mendatangi lokasi penambangan pasir ilegal di Pantai Watu Pecak.
Mereka melihat areal persawahan yang digenangi air laut akibat hilangnya gunung pasir setelah dikeruk.
Komisi juga mendatangi rumah Tosan, korban penganiayaan Tim 12 yang kini dirawat intensif di RSSA Malang.
Mereka juga mewawancarai Kapolsek Pasirian Eko Hari S dan Camat Pasirian Abdul Basar.
Eko Hari beberapa kali menjawab tidak tahu atas pertanyaan anggota Komisi seperti tentang apa yang dilakukan kepolisian saat peristiwa nahas 26 September itu terjadi.
Sedangkan Basar beberapa kali gagap saat ditanya Akbar Faisal tentang pembiaran penambangan pasir ilegal di desa itu.
Komisi III berjanji akan mengawal kasus tersebut sampai tuntas. Pihaknya akan mengawasi kerja kepolisian yang menjadi mitra Komisi yang membidangi Hukum dan HAM itu. uni