Selalu 'Berkalung' Kembang, Ini Istimewanya Empat Tiang Guru Masjid Al Karomah
"Biasanya kalau hajat mereka terkabul mereka menggantungkannya di situ sebagai ungkapan rasa syukur Allah telah mengabulkan hajat-hajat mereka,"
Editor: Wahid Nurdin
Laporan wartawan Banjarmasin Post, Yayu Fathilah
TRIBUNNEWS.COM, MARTAPURA - Masjid Agung Al-Karomah di Martapura, Kabupaten Banjar memiliki tiang guru yang unik, yaitu digantungi kembang barenteng sementara tiang-tiang lainnya tidak ada bunganya.
Posisi empat tiang guru ini saling berhadapan membentuk segi empat, letaknya di tengah ruangan masjid.
Tiangnya dipenuhi ukiran klasik, namun bukan itu daya tariknya, melainkan di sekelilingnya ada banyak rangkaian kembang barenteng khas Banjar yang dikaitkan dengan besi-besi pengait melengkung yang ujung-ujungnya tajam.
Tiang ini dan besi-besi tersebut tampak berusia tua, sangat kontras dengan tiang-tiang lainnya di sekelilingnya yang masih tampak baru dan berbahan beton.
Kembang-kembang itu berupa rangkaian bunga mawar, melati, cempaka dan kenanga yang masih segar dirangkai menggunakan batang pisang sebagai pangkalnya.
Batang pisang ini yang dikaitkan ke besi yang menancap di tiang tersebut.
Semua ini ternyata bukan tanpa maksud, karena menandakan sebuah tradisi turun-temurun yang sudah sangat mengakar dikehidupan relijius orang Banjar di Martapura.
Sebuah perpaduan pengaruh budaya Islam dan Hindu yang begitu kuat.
Sekretaris Masjid Agung Al-Karomah, Sya'rani Saleh mengatakan adat ini memang sudah ada sejak lama, bahkan sejak masjid ini dibangun pada 1280 Hijriyah atau 1863 masehi.
Dikatakannya, warga senang menggantungkan kembang barenteng di empat tiang guru masjid ini karena ada tujuannya.
"Biasanya kalau hajat mereka terkabul mereka menggantungkannya di situ sebagai ungkapan rasa syukur Allah telah mengabulkan hajat-hajat mereka," jelasnya.
Warga menganggapnya keramat dan menurutnya tradisi ini sudah sangat mengakar di kehidupan umat Islam di Martapura, kendati zaman sudah modern.
"Mungkin ini satu-satunya masjid di Indonesia yang memiliki tradisi seperti ini. Masjid lainnya di Nusantara ini rasanya tidak ada yang memiliki tradisi ini, saya tidak pernah mendengar atau menemukan fakta seperti ini di masjid lainnya. Di Kalimantan Selatan pun, cuma masjid ini yang begini tiang gurunya," bebernya.
Empat tiang ini pun memiliki sejarah tersendiri saat pembangunannya, yaitu berupa kayu ulin yang dibawa langsung oleh ulama pencetus pembangunan masjid ini, yakni Haji Muhammad Afif alias Datu Landak.
"Konon, empat kayunya ini dibawa Datu Landak dari Barito di Kalimantan Tengah hanya dengan berjalan kaki. Kayunya yang masih berupa gelondongan dijepitnya saja di bawah ketiaknya. Itulah kesaktiannya Datu Landak," jelasnya.