Berada di Dusun Babatan Wiji Omboh Blitar Ini Serasa di Negeri Antahbrantah
Berada di dua dusun itu, terasa seperti bukan sedang menginjakkan kaki di Kabupaten Blitar.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, BLITAR - Berada di dua dusun itu, terasa seperti bukan sedang menginjakkan kaki di Kabupaten Blitar.
Betapa tidak, kemana-mana cukup jauh, apalagi mau pergi ke desa tetangga, itu tak cukup hanya ditempuh dengan hitungan jam.
Namun, itu bisa dijangkau sampai setengah hari perjalanan dengan motor.
Tidak hanya jaraknya yang cukup jauh, namun tantangan alamnya cukup berat.
Selain dikelilingi perbukitan dan hutan yang cukup lebat, medan jalannya cukup sulit.
Sebab, jalannya masih asli bebatuan, denga hanya ditata.
Namun, karena sudah lama tak dirawat kembali, kini sebagian jalan itu sudah rusak parah sehingga batunya tampak meringis.
"Jangan sampai terjatuh kalau lewat sini, bisa-bisa kepala bundas, kena batu jalan," ujar Harto (50), penjual panci keliling yang ditemui saat berpapasan di tengah jalan.
Itulah gambaran Dusun Babatan Wiji Omboh dan Dusun Sirah Kencong, Kecamatan Wlingi.
Berpenduduk 210 KK, desa itu terisolasi dengan desa lainnya.
Bahkan, dengan desa yang terdekat, di antaranya, Desa Semen, Kecamatan Gandusari, jaraknya sekitar 35 km.
Itu pun, tak bisa ditempuh dengan mudah karena tak semua jenis kendaraan bisa melintas dengan nyaman. Jika sepeda motor, itu harus dimodifikasi khusus.
Seperti ban-nya harus diganti dengan ukuran lebih tinggi atau mirip ban trail.
Sebab, jika tak begitu, dipastikan bakal rawan terbentur bebatuan jalan.
Sebab, jalannya masih berupa bebatuan, dan kini sudah tak rata lagi.
Apalagi, bila sampai bocor di tengah jalan, dipastikan, pengendaranya bakal menangis karena tak ada tambal ban.
Seperti dialami Supri (22), warga Dusun Serah Kencong.
Saat melintas di jalan dusun itu, mendadak sepeda motornya, Honda Kharisma, mendadak, rantainya lepas dan masuk ke sebelah gear-nya.
Karena posisinya, berada di tengah hutan atau berjarak sekitar 20 km dari dusunnya, terpaksa ia harus memperbaikinya sendiri.
"Warga sini, kalau pergi ke mana-mana harus membawa peralatan (kunci), dan harus bisa memperbaiki sendiri. Sebab, jika tak begitu, mereka bakal susah, jika rusak di tengah jalan, seperti saya ini," tuturnya.
Itu karena, di sepanjang jalan sekitar 35 km itu tak ada bengkel.
Sebab, jalannya cukup sepi karena jarang ada orang lewat.
Ditambah, tak ada rumah penduduk di sepanjang jalan itu, apalagi bengkel atau tukang tambal ban.
Yang kita temui, hanya hamparan hutan lebat, dengan pohon yang cukup besar.
Tak pelak, saat melintas di tengah hutan itu, hanya terdengar suara berbagai jenis burung berkicau merdu.
Namun demikian, itu justru membuat suasana kian serem karena jalannya sepi, dan sulit dilalui, apalagi diapit perbukitan.
Dipastikan, kalau bukan warga setempat, tak akan bakalan berani melintas sendirian, meski siang hari.
Apalagi musim hujan seperti sekarang ini, jalannya kian sulit.
Sebab, sebagian besar, jalannya masih berupa tanah, sehingga kalau hujan, berlumpur.
"Wes, nggak bisa lewat kalau hujan, wong tanahnya lengket ke ban. Belum lagi kalau ban kempes, kami harus menuntun karena tak ada tambal ban. Susah mas hidup di sini,"
ujar Supri.
Begitu juga, kalau sampai kendaraan itu kehabisan bensin di tengah jalan, itu lebih susah lagi.
Jangankan mencari penjual bensin, berpapasan dengan pengendara lain saja, cukup jarang.
Paling-paling, ya hanya menemui orang memikul rumput, keluar dari hutan.
Sesekali, juga menemui orang pulang dari ladang. Itu pun, juga jarang karena jarak antara ladang dengan perkampungan cukup jauh, sehingga warga tak tiap hari pergi berladang.
"Kalau ke dusun itu, jangan sampai kemalaman. Bila sudah senja, mendingan menginap saja. Sebab, jalannya gelap gulita. Jangankan lampu penerangan jalan, wong jaringan listrik saja, belum ada," ungkapnya.
Dijelaskan Supri, meski kondisi dusunnya seperti itu hampir tak pernah terjadi kasus pencurian atau kejahatan serupa.
Alasannya, selain jarang ada pendatang, juga tak ada jalan tembus karena dusun itu dikelilingi hutan.
"Cuma kalau malam gelap dan warganya jarang yang keluar rumah. Mungkin, mereka capek karena seharian sudah bekerja di ladang," ungkapnya.
Namun dibandingkan tahun 2011 lalu, kondisi dua dusun sudah lebih baik.
Itu karena kini sudah dua kincir air, buatan warga. Itu dipakai pembaangkit listrik, untuk menerangi rumah warga.
Namun, ya begitu, daya listriknya masih rendah, sehingga hanya menyala malam saja," kata Sugeng (33), kepala dusun setempat, Minggu (8/11/2015).