Sapu Lidi Penyambung Hidup, Kisah Janda Tua di Gubuk Reot
Di sebuah gubuk reot nenek ini memberi pelajaran berharga, ia tak kenal menyerah dan mandiri untuk bertahan hidup.
Editor: Robertus Rimawan

Di sebuah gubuk reot nenek ini memberi pelajaran berharga, ia tak kenal menyerah dan mandiri untuk bertahan hidup.
NENEK Soko Harjo (85) masih aktif beraktivitas dan bertekad hidup mandiri bahkan dia memilih hidup di sebuah gubuk reot berdinding anyaman bambu berukuran sekitar 2x4 meter menjadi tempatnya istirahat sehari-hari.
KETIKA ditemui di Bregan RT 6, Mulyodadi, Bambanglipuro, Nenek Soko yang memiliki nama kecil Kadinem ini dengan senang hati menerima tamu.
Di dalam gubuknya terdapat sebuah tempat tidur dan peralatan masak seadanya, daun bambu juga blarak (daun pohon kelapa yang sudah kering) juga banyak terlihat di belakang rumahnya.
Membuat sapu lidi menjadi keseharian Nenek Soko, Dia tidak mau hanya menggantungkan hidupnya kepada orang lain.
"Seminggu bisa buat delapan sapu kalau ada blarak," tuturnya Kamis (7/1/2016)
Nenek Soko bercerita tiap hari memulai aktivitas sejak pukul 03.00 dini hari untuk menyapu dan membersihkan kebun orang lain yang membutuhkan.
Dari sanalah dia mendapatkan bahan untuk bahan pembuat sapu lidi yang dijual dengan harga Rp3000.
Nenek Soko pun mengungkapkan awal mula tinggal di Bregan lantaran dia bersama almarhum suaminya mengasuh anak angkatnya.
Sang anak bernama Sabarto diasuhnya sejak bayi setelah ibu kandungnya meninggal, dan rumah yang ditempatinya saat ini adalah peninggalan keluarga anak angkatnya.
"Suami saya meninggal sekitar 20 tahun lalu, tinggal di sini baru 15 tahun," paparnya.
Ketika terjadi gempa bumi besar 2006 rumah yang ditempatinya bersama sang anak Sabarto ambruk, bantuan rekonstruksi saat itu kemudian dipakai lagi untuk membangun rumah baru di selatan bekas rumahnya yang lama.
Namun Mbah Soko memilih untuk tetap tinggal di bekas dapur yang dulu sering ditempatinya daripada ikut di rumah baru yang ditempati keluarga anaknya.
"Ini dulu dapur (pawon), saya tempatnya di sini, lebih enak tidur sendiri dekat dengan perapian daripada berdesakan," paparnya.
Dia mengaku lebih nyaman dan tidak merasa kedinginan harus bermalam di rumah reot tersebut, meski begitu dia mengaku senang jika ada yang mau memberi bantuan agar tempat tinggalnya bisa diperbaiki lagi.
Suyudi, tetangga Nenek Soko mengungkapkan selama ini beliau memang hidup sendiri, satu keluarga terdekat adalah anak angkat yang tinggal di sebelah rumahnya dan bekerja sebagai penarik becak.
Selama ini menurutnya bantuan untuk perbaikan rumah dari pemerintah untuk Mbah Soko memang belum pernah ada meskipun bantuan lainnya untuk warga miskin seperti raskin tetap didapat Nenek Soko.
Yudi memaklumi keinginan Mbah Soko untuk tinggal sendiri mengingat rumah baru yang ditempati keluarga anak angkatnya setelah gempa ukurannya kecil dan hanya terdapat dua kamar itupun sudah menampung empat orang. (Anas Apriyadi)