Semangat Belajar dan Nasionalisme Para Siswa di Perbatasan Indonesia Menakjubkan
Rasa nasionalisme mereka sangat besar, ketimbang kita masyarakat Indonesia yang berada dekat dengan ibukota
Editor: Sugiyarto
Laporan Reporter Tribun Jogja, Septiandri Mandariana
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - “Rasa nasionalisme mereka sangat besar, ketimbang kita masyarakat Indonesia yang berada dekat dengan ibukota dan mendapatkan banyak kenyamanan untuk mengetahui banyak hal”
Pergi ke sekolah dengan berjalan kaki selama dua hingga tiga jam di tengah perkembangan teknologi yang terus maju merupakan sesuatu yang sangat jarang ditemui.
Berbeda halnya dengan para siswa yang ada di Pulau Sebatik Kalimantan Utara, yang berbatasan dengan wilayah Malaysia.
Banyak para siswa di sana rela berjalan kaki untuk menuntut ilmu, agar menjadi penerus bangsa yang berilmu dan kelak bisa menjaga dan memajukan bangsanya di masa depan.
Sebanyak 20 orang mahasiswa asal Yogyakarta yang tergabung dalam Generasi Bakti Negeri (GBN) berangkat ke Desa Aji Kuning dan Desa Maspul, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara untuk menjadi relawan dan mengajar kepada para siswa yang ada di sana.
Puluhan orang itu merupakan para mahasiswa yang masih mengenyam bangku kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Pada Agustus hingga Oktober 2015 kemarin mereka mengisi waktu liburnya untuk mengamalkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada para siswa yang berada di perbatasan Indonesia.
Banyak hal miris yang mereka temui di sana, di antaranya seperti ketidak tahuan para siswa di Sebatik tentang ibukota negara Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, fasilitas pendidikan yang sangat tidak memadai dan masih banyak lagi.
“Banyak hal miris yang saya ketika mengajar di sana, seperti fasilitas pendidikan yang tidak memadai. Satu sekolah hanya memiliki satu ruangan dan digunakan secara bergantian oleh siswa dari kelas 1 SD hingga kelas 6 SD,” ungkap Budi Setiawan, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Hubungan Internasional Universitas Yogyakarta kepada Tribun Jogja, Senin (18/1/2015) siang kemarin di Taman Budaya Yogyakarta saat menyelenggarakan acara puncak setelah mereka mengajar di sana.
Mahasiswa asal Garut ini melanjutkan, adapun gedung sekolah yang digunakan untuk siswa SD hingga SMA.
Para siswa bergantian untuk menuntut ilmu tanpa sedikitpun mengeluh dengan segala keterbatasan itu. Budi ketika itu mengajar bahasa Inggris kepada para siswa di Sebatik.
Ada hal yang sangat ia kagumi dari para siswa di sana, di antaranya seperti ketika para siswa sedang tidak ada jam pelajaran ataupun sedang libur sekolah, para siswa dan warga sekitar datang ke posko dan meminta para mahasiswa yang GBN mengajarkan hal lain kepada mereka.
“Semangatnya sangat luar biasa sekali dalam belajar. Saya yang ada di sana jadi lebih semangat untuk berbagi ilmu pengetahuan bersama mereka,” lanjut Budi.
Hal serupa dikatakan oleh Muammar Irfan, pengajar lain yang ikut ke sana. Ketika itu mahasiswa yang biasa disapa Amar ini heran saat para siswa di sana menjawab bahwa ibukota Indonesia adalah “Ibu Kartini” dan “Ibu Megawati”.
Selain itu, saat ia menanyakan siapakah Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, para siswa, khususnya siswa SD menjawab Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
“Saya kaget ketika mendengar hal itu. Ketika ditanya siapa proklamator? Mereka menjawab Soekarno dan Jenderal Sudirman. Kami berangkat ke sana untuk menjalankan sebuah program, yaitu program pemberdayaan pendidik, moral dan intelektual serta ekonomi kreatif,” kata Amar.
Para mahasiswa yang berangkat ke sana sebelumnya dilakukan proses seleksi, baik administrasi, tes tertulis maupun wawancara.
Setelah itu para relawan yang lolos di karantina dan diberi pelatihan sebelum berangkat ke sana.
Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa pengalaman berbagi ilmu bersama siswa, pemuda dan warga sekitar di sana adalah pengalaman yang luar biasa dan tidak dapat dilupakan.
Dalam setiap tahunnya, komunitas tersebut akan terus mengirimkan para relawan mahasiswa untuk berbagi ilmu ke wilayah-wilayah di Indonesia yang terluar, terdepan dan tertinggal.
Dengan begitu, khususnya para siswa sebagai generasi penerus bangsa mendapatkan hak yang sama.
Amar menuturkan, ke depannya pihaknya akan meminta pihak pemerintah untuk ikut serta mendukung mereka menjalankan program tersebut.
Setelah mereka selesai mengajar di sana, komunitas inipun menyelenggarakan Gebyar Generasi Bakti Negeri, yang mana di dalamnya terdapat berbagai kegiatan yang dimaksud untuk berbagi pengalaman bersama para generasi Yogyakarta.
Di antaranya seperti mengadakan seminar pendidikan, pameran foto kegiatan mereka saat mengajar di sana, pemutaran film dokomenter, pentas seni dan masih banyak lagi.
Acara tersebut diselenggarakan pada 18 hingga 19 Januari 2016 di Societet Military, Taman Budaya Yogyakarta.
“Kami berharap akan lebih banyak lagi generasi muda yang ingin menyisihkan waktunya untuk berbagi pengetahuan bersama orang lain,” tuturnya. (tribunjogja.com)