Jangan Sia-Siakan Nonton Gerhana Matahari Lusa, karena Diprediksi Baru Terjadi Lagi Tahun 2046
Pada Agustus 2017 mendatang juga diperkirakan akan ada gerhana matahari namun hanya menjangkau wilayah Amerika Utara yang bisa menyaksikannya
Penulis: Monica Felicitas
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Surya Monica Felicitas
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Pakar astronomi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Bintoro Anang Subagyo SSi MSi, mengatakan bahwa fenomena Gerhana Matahari Total (GMT) langka seperti ini sangat baik untuk disaksikan dan dirasakan oleh masyarakat.
Ini akan merangsang masyarakat untuk memiliki pola berpikir ilmiah dan meningkatkan rasa keingintahuan mengenai fenomena alam.
"Gerhana matahari hampir setiap tahun terjadi, hanya saja tidak terjadi di tempat yang sama," kata tutur dosen Fisika FMIPA ITS ini, Senin (7/3/2016).
Bintoro mencontohkan bahwa pada Agustus 2017 mendatang juga diperkirakan akan ada GMT, namun hanya menjangkau wilayah Amerika Utara yang bisa menyaksikannya.
"Mungkin Indonesia akan mengalami GMT lagi sekitar 30 tahun ke depan," jelasnya.
Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya gerhana matahari parsial, cincin, dan sebagainya, papar pria asal Banjarmasin ini.
Ia menegaskan bahwa GMT di Indonesia ini adalah momen yang sangat langka.
Baginya momen ini termasuk GMT pertamanya untuk bisa melihat.
"Sebenarnya waktu kecil sempat mengalami GMT, namun saya tidak diperbolehkan keluar rumah saat itu," ujarnya.
Menurut Bintoro, adalah suatu kesalahan apabila masyarakat masih mengikuti tradisi zaman dahulu, yaitu ketika mendengar ada gerhana, respon yang ada ialah larangan keluar rumah karena takut akan mengalami kebutaan.
"Kita bisa membuat pinhole, menggunakan kedok las, atau membeli kacamata khusus gerhana.
Harganya saya rasa tidak mahal, hanya sekitar Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu.
Yang membahayakan ialah menatap secara langsung proses gerhana matahari total tersebut.
"Kalau saat matahari tertutup total tidak masalah. Namun ketika matahari muncul kembali dengan intensitas cahaya yang tinggi dan pupil mata kita tidak siap, itu yang bahaya," terangnya.
Bintoro menjelaskan, alat bantu penglihatan yang baik adalah yang mampu mereduksi cahaya hingga 100 ribu kali.
Akibat yang ditimbulkan dengan melihat gerhana matahari dengan cara salah yang paling parah memanglah kebutaan atau terkadang pengelihatan juga menjadi kabur.
"Gangguan pengelihatan ini tidak terjadi secara langsung setelah melihat gerhana, namun bisa terjadi berhari-hari hingga berminggu-minggu setelahnya," paparnya.
GMT ini sendiri melewati beberapa lokasi di Indonesia di antaranya Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Di kota Surabaya hanya dapat menyaksikan gerhana matahari sebagian.
Beberapa mahasiswa ITS dibantu dosen Fisika nantinya juga akan melakukan pengamatan di Kenjeran Park Surabaya.
"Harapan saya untuk seluruh masyarakat, jangan melewatkan fenomena ini dan bisa mengambil hikmah yang mendalam dari kejadian alam ini," katanya.