Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Gerhana Matahari dan Raksasa yang Marah, Mitos Masa Lalu yang Mulai Memudar

Kisah itu berawal dari kehidupan di Kayangan, tempat para dewa tinggal.

Editor: Robertus Rimawan
zoom-in Gerhana Matahari dan Raksasa yang Marah, Mitos Masa Lalu yang Mulai Memudar
Arbain Rambey/ KOMPAS
Foto tes memotret matahari yang terbuka dengan data teknis filter ND 1000, ISO 100, diafragma 22. speed 2000, lensa ekuivalen 600 mm. Arsip Arbain Rambey, pernah dimuat Kompas, 9/2/2016. 

Saat sebelum pembagian dimulai, para dewa diminta untuk antri. Satu-persatu para dewa lantas maju Mereka meminum dengan cara menggunakan daun beringin.

Karena Tirta Amerta jumlahnya hanya terbatas, maka para dewa hanya mengambil sedikit dan meminumnya.

“Pokoknya asal rata, sedikit tapi semua dewa dapat minum. Khasiatnya setelah meminum, dewa tidak akan mati,” ujarnya.

Buto yang menyamar akhirnya mendapat giliran maju.

Namun, saat sampai di depan dan air Tirta Amerta baru sampai di mulut tiba-tiba ada anak panah melayang dan memutuskan leher si Buto.

Ternyata itu anak panah milik Bethoro Suryo yang mengetahui jika Buto menyamar sebagai dewa.

“Dipanah itu lalu tubuh buto jatuh ke Bumi jadi lesung (Tempat menumbuk padi). Tapi kepalanya masih melayang-layang,” ucapnya.

Berita Rekomendasi

Marah karena ketahuan, si Buto lalu dendam.

Kepada Bethoro Suryo, Buto mengancam suatu saat akan menelannya.

Tak hanya itu, ia juga mengancam akan memakan bulan di malam hari.

Akhirnya, ketika matahari atau bulan menjadi gelap karena gerhana nenek moyang selalu membunyikan gejok lesung (penumbuk padi) dan memukul kentongan.

Hal ini dilakukan agar si Buto melepaskan matahari atau bulan.

“Zaman dulu, kalau tiba-tiba ada gerhana, langsung bunyikan lesung dan kentongan. Sambil bilang, to buto kui ojo di untal lepeh o (Buto itu jangan dimakan, keluarkan dari mulutmu),” katanya.

Tetapi Buto sudah terlanjur menelan matahari dan bulan.

Tanpa sadar jika ia tidak memiliki perut.

Sehingga meski ditelan, matahari maupun bulan tetap keluar lagi.

“Cerita mitosnya seperti itu, itu dulu zaman sebelum ada HP dan TV. Kalau sekarang mungkin sudah dilupakan dan jarang diceritakan,” kata dia.(*)

Tulisan ini diambil dari Kompas.com tayang pada Senin (7/3/2016) dengan judul: Gerhana Matahari dan Dendam Si Buto.
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas