Terkait Reklamasi Teluk Benoa, Gubernur Bali Dinilai Benturkan Masyarakat dengan Pemerintah Pusat
Gubernur Bali mempunyai kewenangan untuk melakukan rekomendasi lagi, jika kawasan Teluk Benoa tidak direklamasi
Penulis: I Made Ardhiangga
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Made Ardhiangga
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Gubernur Bali, Made Mangku Pastika menybut apabila pencabutan masalah Perpres 51 Tahun 2014 saat ini ialah tanggung jawab pemerintah pusat sehingga, dia meminta supaya kebijakan pencabutan itu dijauhkan dari unsur Politik.
Seruan orang nomor satu itu mendapat respon dari Anggota DPR RI Komisi VI bidang Investasi dan BUMN, Nyoman Dhamantra.
Dhamantra menyebut, apabila reklamasi atau ijin proyek itu tidak akan bisa dilakukan jika tidak ada perubahan yang dilakukan oleh Pemprov Bali.
Singkatnya, dahulunya Pemprov Bali meminta supaya ada perubahan Perpres 45 menjadi Perpres 51 sehingga izin proyek itu pun berjalan mulus.
"Jadi, jangan membenturkan masyarakat ke Pusat. Gubernur tidak boleh menggiring opini ke pusat," kata Dhamantra kepada Tribun Bali, Minggu (27/3/2016).
Menurut dia, jika ingin mencabut Perpres, Gubernur Bali mempunyai kewenangan untuk melakukan rekomendasi lagi, jika kawasan Teluk Benoa tidak bisa direklamasi.
Dan ketika masyarakat begitu besar menolak, sambungnya, maka sepatutnya Gubernur Bali mampu mendegarkan masyarakat dan meminta lagi kepada Presiden untuk ijin rekalamasi itu dicabut.
"Bukan malah meletakkan masalah ini ke pusat. Orang awalnya yang meminta adalah Pemprov, kalau sekarang dicabut Pemprov juga berwenang. Jadi pusat itu menuruti daerah, karena kewenangan menyangkut hal itu," katanya.
Dhamantra menyebut, kewenangan itu menyangkut dalam UUD (Undang Undang Dasar) dalam Pasal 18b, yang terdiri dari dua butir.
Butir pertama, yaitu Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
Ke dua, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
"Sekarang sudah 28 Desa Adat yang menolak, lantas apa yang harus dipikirkan lagi oleh Pemerintah? UU 18b sudah menyatakan dengan tegas. Itu yang harus dijunjung tinggi," katanya.