Arif Nurcahyo Ingin Mengembalikan Identitas Budaya dan Pendidikan Yogyakarta
Berikut ini wawancara Tribunnews.com dengan seorang psikolog dan sekaligus perwira polisi, salah satu calon kontestan pilkada Yogyakarta
Penulis: Gusti Sawabi
Tribunnews.com, Yogya - Pilkada serentak 2017 sudah mulai menghangat. Di berbagai daerah, mereka yang ingin menduduki jabatan gubernur, bupati, dan wali kota mulai menunjukkan geliatnya.
Di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta -- sebagai salah satu barometer politik di Indonesia -- pilkad akan digelar di Kta Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo.
Berikut ini wawancara Tribunnews.com dengan seorang psikolog dan sekaligus perwira polisi, salah satu calon kontestan pilkada di Provinsi DIY, Kombes Pol Drs Arif Nurcahyo MA, Selasa (5/4/3016).
Tribunnews.com (T) Anda ingin maju dalam pilkada kota Yogyajarta, apa yang akan anda 'jual'?
AN: Program Kota tentunya tetap harus mengacu pada program Pemerintah Pusat, Provinsi n Kota. Hanya yang menjadi persoalan adalah metode dan pola pendekatan, maka saya akan menggunaka pendekatan pendidikan dan kebudayaan yang berbasis komunitas/keluarga, baru meluas ke ruang publik/pemerintah.
T: Anda seorang perwira polisi aktif, sudah diperhitungkan karier anda di Polri?
AN: Tentunya sudah, dan bagi saya 28th dinas di Polri aadalah modal untuk mengabdi kepada bidang yang lain, yaitu masyarakat pendidikan.sosial. Dan, jabatan wali kota sebagai sebuah peluang melanjutkan pengabdian.
T. Anda aktif di berbagai kegiatan sosial? apa yang Anda peroleh dari kegiatan itu?
AN: YA. melalui komunitas seni, komunitas profesi/psikologi, mengajar dan pendampingan kegiatan remaja memperkaya wawasan serta cakrawala kehidupan.
T: Menurut Anda, Yogya sekarang seperti apa?
AN: Yogya sekarang sedang terkikis aura/marwah keyogyaannya, sudah bukan lagi tumpuan pusat budaya dan pendidikan. Predikat itu mulai bergeser ke kota lain seperti Bandung, Malang, Solo dan sebagainya.
T: Yogya yang Anda idamkan seperti apa?
AN: Tentunya saya rindu dengan Yogya yang berpendidikan dan ramah budaya, di mana rumah tinggal dan kekerabatan menjadi simpul utama dan silaturahmi menjadi modal utama. Mengapa orang senang "dolan ke mall daripada main ke rumah tetangga?"
T: Modal anda maju pilkada apa?
AN: Modal utama adalah lahir. besar. hingga kuliah di Yogya dan 28 tahun dinas di polisi apalagi latar belakang pendidikan psikologi semakin menguatkan niat saya.
T. Sebagai putra Yogyakarta asli, apa yang anda pikirkan tentang situasi kondisi masyarakat Yogya?
AN: Pendekatan untuk mengelola yogya tidak semata-mata membangun sebuah kota. Tapi harus mempertimbangkan identitas dan psikologi masyarakat dimana tradisi masih dominan. Dan, Keraton sebagai pusat tradisi serta peran budayawan dan kaum cerdik pandai sebagai ciri utama kota pendidikan-budaya.
T: Apa kekurangan dunia pendidikan di kota ini menurut anda? dan apa yang akan anda lakukan jika nanti anda terpilih sebagai wali kota?
AN: Mungkin sudah dilakukan, tapi belum optimal sinergi antara peran Perguruan Tinggi-pemerintah/lembaga dalam mengkaji sebelum menjadi kebijakan publik. Misalnya masalah lalu lintas, ada UGM-Polda & Pemda dimana Bulaksumur (UGM) bisa menjadi kawasan percontohan atau laboratorium. Misalnya masalah tiblantas; model penataan kota, pola resolusi konflik dan lain-lain. Termasuk kebijakan-kebijakan dalam bidang yang lain sehingga riset menjadi kekuatan utuh dan berkesinambungan. Hal itu bisa menjadi pola dalam tiap kebijakan tanpa harus kehilangan 'rasa Yogya'. Membiasakan kerjasama lintas sektoral dan duduk satu meja yang selalu disertai sebuah kajian menjadi penting dalam mengambil kebijakan strategis tentang Yogya, ini harus bertahap dan komprehensif dengan mempertimbangkan banyak aspek.
T: Anda lama sekali tinggal di Yogya, bagaimana pengelolaan dunia wisata termasuk perhotelan, sikap masyarakat terhadap wisatawan (asing terutama)?
AN: mengelola kota tidak bisa mengabaikan peran kabupaten lainnya dan gubernur sebagai pengambil kebijakan. Artinya walikota dan bupati (di DIY) harus bersinergi utk membuat kesepakatan atau konsep penataan tentang Yogya (DIY), termasuk dalam menata alur dan arus wisata sehingga lancar dan tidak macet. Pengelolaan wisata tidak bisa parsial dan kewilayahan, tetapi sebagai satu kesatuan dengan alur yang diatur/disepakati dan dikelola sebagai mesin industri sehingga semua sektor wisata menjadi hidup, tergarap dan tumbuh bersama, pemerintah sebagai marketing. Perlu ditegaskan, Yogyakarta menjadi tujuan wisata berbasis kampung sehingga antara wisatawan dan warga bisa berinteraksi langsung.
T: Bagaimana dengan pusat-pusat kesenian dan berkesenian di Yogya sekarang ini? Akan anda apakan selanjutnya?
AN: Kesenian dan gerakan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari Yogya, dulu ada tempat yang menjadi pusat kegiatan baik formal (sekolah atau daerah tertentu). Persoalannya adalah sejauh mana Pemkot mendukung proses berkesenian ini melalui event-insentif pembinaan atau bahkan menjadi mata kurikulum muatan lokal, bukan sekadar ekstrakurikuler. Atau secara ekstrem setiap kampung disediakan ruang publik utk berkesenian.
T: Soal angkutan kota (modern dan tradisional) di Yogya, apa yang Anda pikirkan?
AN: Transportasi di Yogya adalah persoalan serius bukan lagi sekadar persoalan wisata tapi menjadi kehidupan sehari-hari dan tentu bukan sekadar masalah kota, seperti penataan pariwisata. Setidaknya perlu diwacanakan lahan parkir yang luas di luar kota dan penyediaan angkutan massal yang reguler dengan jalur tertentu yang dikelola pemerintah. Bahkan kalau perlu beroperasi 24 jam sehingga secara bertahap bus wisata dilarang masuk kota, tapi ganti armada dan tidak mengandalkan kendaraan pribadi/sewa sehingga kemacetan bisa sedikit teratasi. Tapi ini perlu dikomunikasikan dengan kabupaten lain dan dinas terkait.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.