Aliansi Gerakan Reforma Agraria Jabar Sebut Proyek Kereta Cepat Dipaksakan
Ia mencontohkan jika ada aturan di daerah yang menghambat proyek kereta cepat ini harus dicabut atau direvisi.
Penulis: Teuku Muhammad Guci Syaifudin
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Jabar Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra) Jawa Barat menilai proyek kereta cepat rute Jakarta-Bandung tersebut "dipaksakan" lantaran semua prosesnya serba cepat dan tanpa ada pengkajian lebih jauh soal dampak kedepannya.
"Dari segi instrumen aturan saja bisa dilihat. Ada sedikit tekanan kepada pemerintah daerah agar mendukung proyek kereta cepat ini," ujar Ketua Agra Jawa Barat, Wowon Muhammad Taufik, di Kampus Teknik Sipil ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Rabu (20/4/2016).
Ia mencontohkan jika ada aturan di daerah yang menghambat proyek kereta cepat ini harus dicabut atau direvisi.
Menurut Wowon, hal tersebut memberikan kesan jika pemerintah pusat bersikap otoriter untuk proyek kereta cepat tersebut.
Sebaliknya masyarakat yang akan merasakan adanya proyek itu pun tidak pernah mendapatkan kejelasan secara rinci mengenai manfaat dan dampak kedepannya.
"Kalau bicara manfaatnya kereta cepat sama sekali tidak berguna bagi rakyat khususnya bagi kaum tani," katanya.
Ia menyebut kalau masalah meningkatkan ekonomi rakyat khususnya Jabar, seharusnya petani yang harus diutamakan.
"Pemerintah harus mendorong kaum tani secara ekonomi kalau bicara kedaulatan pangan. Sementara tanah buat petani ini dirampas seperti yang di kawasan PTPN VIII," ujar Wowon.
Soal perampasan tanah, Wowon menilai, ada sekitar 1000 hektare tanah milik warga di kawasan PTPN VIII yang akan beralihfungsi untuk proyek kereta cepat.
Sebab proyek kereta cepat itu membutuhkan lahan sekitar 3000 hektare di kawasan perkebunan PTPN VIII.
Namun pada kenyataannya lahan milik PTPN VIII itu tidak berada dalam satu hamparan.
"Kalau dilihat kawasan PTPN itu 3.400 hektare, sementara kebutuhan 3.000 hektare. Namun hanya 2.000 hektare yang berada di satu titik, sementara sisanya akan membutuhkan tanah-tanah milik rakyat yang diambil secara paksa karena instumennya pun tidak jelas dan tidak diberi ruang untuk negoisasi sehingga warga tidak bisa menyampaikan pendapat dan melakukan penolakan," ujar Wowon.
Diakui Wowon, kondisi perkebunan PTPN VIII memang mengalami kemerosotan akhir-akhir ini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.