Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Seminar di Jogja: Menyatukan Penggalan Puzzle Warisan Ibu Kita Kartini

Kehancuran dan kekacauan suatu bangsa dapat diduga terjadi karena hilangnya nilai-nilai luhur yang ditanamkan seorang ibu ke dalam hidup anaknya.....

Editor: Robertus Rimawan
zoom-in Seminar di Jogja: Menyatukan Penggalan Puzzle Warisan Ibu Kita Kartini
Istimewa
RA Kartini 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Seperti puzzle yang tak beraturan, beramburan dan tak tertata.

Ada hal-hal yang tersembunyi, bahkan hilang tanpa diketahui.

Soal fakta, perjalanan lalu yang penuh liku, remah-remah harapan sosok hawa yang seharusnya di masa itu hanya bersembunyi di pojok dapur.

Semua terdobrak oleh seorang wanita ningrat yang sederhana dari wilayah kecil di Pulau Jawa, Raden Ajeng Kartini.

Melalui surat-surat RA Kartini kepada para sahabatnya di Belanda yang dibukukan menjadi - Door Duisternis Tot Licht – Dari Gelap Menuju Terang (yang kemudian diterjemahkan Habis Gelap Terbitlah Terang), asa itu kini tampak jelas.

Tentang harapan Kartini akan Indonesia sebagai Ibu Bumi dan sekaligus Rumah Bersama bagi seluruh bangsa, ras, suku dan agama yang hidup di atasnya.

Soal bagaimana merawat dan mengasuh bangsa Indonesia dengan kasih sayang tidak peduli apapun latar belakangnya termasuk agama, suku, ras tau kelompok

Berita Rekomendasi

Bahkan tentang menjadi seorang ibu yang merupakan kehormatan sekaligus kemuliaan tertinggi seorang perempuan.

Dan jelas adanya. Kehancuran dan kekacauan suatu bangsa dapat diduga terjadi karena hilangnya nilai-nilai luhur yang ditanamkan seorang ibu ke dalam hidup anaknya atau sang anak mengabaikan pendidikan mulia yang ditanamkan ibu kepadanya.

Hal inilah yang ditegaskan Direktur Lembaga Laboratorium Bahasa Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta DR Kardi Laksono dan Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), AM Putut Prabantoro dalam pernyataan bersamanya terkait dengan akan diselenggarakannya seminar nasional “Refleksi Hari Kartini : Merawat Ibu Bumi Indonesia”, di Jogya, Senin (25/4/2016) melalui rilis yang masuk ke redaksi Tribunnews.com.

Seminar itu sendiri akan digelar pada Rabu (27/4/2016 ) di Hotel Gallery, Jogya dan menghadirkan empat tokoh wanita Indonesia dan dibuka untuk umum.

Mereka adalah DR Hastanti Widhy Nugroho MHum (Dosen Fakultas Filasafat Universitas Gajah Mada), Dra Sri Sumijati MSi (Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Soegijapranata, Semarang), Umilia Rokhani SS MA (Dosen ISI Yogyakarta) dan Dian Wisdianawati MSi (Ketua Gerakan Wanita Nusantara / Granita – Jakarta).

Seminar ini akan dipandu oleh Fuska Sani Evani (Wartawati Suara Pembaruan).

Dijelaskan oleh Kardi Laksono, jika menelusuri surat-suratnya kembali, ternyata bukan soal emansipasi yang ditekankan oleh RA Kartini tetapi soal pendidikan anak.

Kartini menulis, “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. "

"Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”. (Kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901)

Penyebab kehancuran budaya yang paling utama dari sudut pemikiran Kartini adalah tidak terpeliharanya komunikasi secara santun yang seharusnya tumbuh dalam masyarakat, yang muncul dalam hubungan yang muda dan yang tua, antara pemerintah dan rakyat, antara para tokoh nasional, antar suku dll.

Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu – bahasa yang menunjukkan drajat tinggi dan kesantunan utama melalui susastranya, ternyata tidak terpelihara dengan baik seiring dengan bertambah modernnya bangsa Indonesia.

Dan seluruh pendidikan suatu bangsa kembali kepada kelompok masyarakat terkecil yakni keluarga dan peran seorang ibu.

Sementara Putut Prabantoro menegaskan, bahwa sejak Reformasi 1998 hingga kini, satu angkatan baru generasi Indonesia menyaksikan bangsa dan para pemimpinnya memberikan contoh yang tidak dapat diteladani.

Korupsi yang dilakukan tanpa rasa malu, politik uang, komunikasi yang sangat melupakan etika, tidak ada unggah-ungguh dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah berbagai contoh buruk bagi generasi ini.

Mereka yang saat ini berusia 17 tahun dan baru masuk ke perguruan tinggi menyaksikan fragmen kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sangat tidak patut ditiru.

Mereka tidak bisa menolak untuk tidak menonton fragmen-fragmen tersebut.

“Mereka yang baru duduk di bangku kuliah pada tahun ini dalam waktu 5 tahun ke depan akan terjun ke masyarakat dengan bekerja, dalam 10 tahun selanjutnya akan memasuki kehidupan berbangsa dan bernegara secara riil."

"Bisa dibayangkan masa depan Indonesia, ketika mereka menjadi kader bangsa, kader partai, calon pemimpin masa depan dan kelak memegang tampuk kekuasaan?” ujar Putut Prabantoro.

Oleh karena itu, seminar yang merupakan kerjasama Lembaga Laboratorium Bahasa ISI YogyakartaGerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) dan Gerakan Wanita Nusantara (Granita) - ini dimaksudkan untuk mengingatkan kepada bangsa serta para pemimpinnya terhadap kemungkinan buruk yang terjadi di Indonesia pada masa mendatang.

Dan, seluruh perbaikan harus dimulai dari merawat Indonesia sebagai Rumah Bersama, sebagai Ibu Bumi. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas