Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Indonesia Target Utama Perang Generasi Keempat Bukan dengan Kekuatan Militer tapi Ini

Menyusul konflik energi, pada masa mendatang, konflik terfokuskan pada perebutan.....

Editor: Robertus Rimawan
zoom-in Indonesia Target Utama Perang Generasi Keempat Bukan dengan Kekuatan Militer tapi Ini
IST
Para pembicara (tiga tengah) seminar “MEA DAN PERANG GENERASI KEEMPAT”, STIE/ABA St. Pignatelli, Surakarta berfoto bersama, Kamis (28/4/2016). 

TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Sebanyak 70% konflik dunia dilatarbelakangi oleh perebutan sumber-sumber energi yang kemudian berujung pada penguasaan atas sebuah negara secara ekonomi.

Menyusul konflik energi, pada masa mendatang, konflik terfokuskan pada perebutan sumber-sumber pangan dan air.

Negara-negara yang berada pada wilayah sekitar katulistiwa akan menjadi destinasi perebutan.

Konflik pangan dan air itu bersifat jangka panjang dan semuanya akan dimulai tanpa menggunakan kekuatan militer tetapi penghancuran ekonomi dan budaya.

Melalui rilis yang masuk ke redaksi Tribunnews.com, demikian ditegaskan oleh mantan WaKASAD, Letjend TNI (P) Kiki Syahnakri, yang juga Ketua Jati Diri Bangsa dalam seminar bertajuk “MEA DAN PERANG GENERASI KE-IV” yang diselenggarakan STIE/ABA St Pignatelli, Surakarta, di Solo, Kamis (28/4/2016).

Hadir juga sebagai pembicara, Prof Dr Bambang Setiaji (Rektor Universitas Muhammadiyah, Surakarta), Dr Gregorius Sri Nurhartanto, SH LL (Rektor Universitas Atma Jaya, Jogyakarta) dan seminar dipandu Agung PW (wartawan senior).

Kiki menjelaskan bahwa pada tahun 2017 penduduk dunia berjumlah 8 (delapan) miliar orang yang menyebabkan pangan dan air menjadi bahan langka.

Krisis pangan dan air sebenarnya dimulai pada tahun 2011 ketika penduduk dunia berjumlah 7 (tujuh) miliar.

Dan oleh karena itu, konflik antar negara melebar dari energi ke bahan pangan dan air.

“Untuk menguasai sebuah negara yang kaya sumber bahan pangan dan air, negara hegemoni termasuk AS dan Tiongkok, tidak lagi menggunakan perang konvensional berkekuatan militer, tetapi menggunakan kekuatan ekonomi dan penghancuran budaya atas sebuah negara destinasi konflik."

Berita Rekomendasi

"Pada akhirnya secara ekonomi dan budaya negara destinasi konflik akan dikuasai,” jelas Kiki Syahnakri.

Penghancuran budaya dan penguasaan atas ekonomi sebuah negara dimulai dengan berbagai cara yang pada akahirnya akan menghancurkan generasi muda, yang kelak akan menjadi pemimpin sebuah negara.

Maraknya kasus narkoba, kekerasan, konflik horizontal, pornografi, LGBT, budaya baru, lahirnya isme-isme baru atau segala bentuk penyimpangan atas nilai-nilai luhur merupakan bentuk Perang Generasi Keempat (G-IV).

“Indonesia sekarang sudah berada dalam Perang Generasi Keempat tanpa banyak generasi muda dan bangsa Indonesia menyadari. Perang ini tidak kasat mata dan sangat halus masuknya melalui ekonomi ataupun pengaruh budaya. "

"Terlambat menyadari dan juga mengatisipasi akan menempatkan Indonesia yang kaya akan sumberdaya pangan dan air dikuasai oleh negara hegemoni,” ujarnya.

Terkait dengan itu, Sri Nurhartanto mengatakan, daya saing Indonesia masih lemah dalam menghadapi globalisasi termasuk MEA (Masyarakat Ekonomi Asean).

“Di saat negara lain menggarap SDM nya sedemikian rupa untuk meraih keunggulan termasuk membangun kekuatan ekonomi, Indonesia justru disibukkan oleh euforia demokrasi."

"Termasuk pemilihan kepala daerah yang beruujung pada tindak pidana korupsi,” ungkapnya.

Oleh Sri Nurhartanto, pemerintah, pemimpin bangsa dan generasi muda dalam menghadapi Perang Generasi Keempat ini tidak mempunya pilihan lain selain pendidikan jati diri bangsa dan harus dikedepankan.

Indonesia harus menjadi sebuah bangsa yang berkarakter dan berjati diri.

Sepanjang sejarah, Indonesia adalah sebagai bangsa besar yang terpuruk dan tidak pernah solid karena senantiasa menyediakan diri untuk dipecah belah.

Sementara itu, Bambang Setiaji menyiratkan kekhawatirannya terhadap kekuatan modal asing yang kini deras masuk Indonesia.

Menurutnya, modal asing yang masuk ke Indonesia merusak awal dari kehancuran bangsa ini dalam wujud kehancuran lingkungan, kultur, religiusitas serta mendorong pekerja menjadi berorientasi terhadap uang dan sekuler.

Diakuinya, memang pengaruh global dan efek MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), cukup dilematis bagi Indonesia.

Di satu sisi, masuknya modal asing memang diperlukan untuk menambah lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi.

Namun karena globalisasi di mana area perdagangan bebas merupakan sebuah kesepakatan yang tidak dapat dihindari, masuknya modal asing tanpa ada pembatasan akan menjadikan Indonesia akan dikuasai atau dijajah secara ekonomi dan budaya.

“Pembatasan ini dimaksud untuk melindungi rakyat terutama generasi saat ini yang akan kelak memimpin Indonesia. Pemerintah harus mendorong rakyat untuk bangkit dari segala keterbelakangannya,” ujarnya.

Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) AM Putut Prabantoro, yang hadir dalam seminar itu, mengatakan bahwa, Indonesia harus menjadi bangsa yang besar secara nyata dan bukan hanya sekedar berwujud slogan.

Hanya saja kelemahannya adalah bangsa Indonesia tidak memiliki komitmen dan kesetiaan dalam meneruskan perjuangan, mimpi para pendiri negara, serta menjaga nilai-nilai luhur yang sudah diletakkan para leluhur.

Menurutnya, jika bangsa Indonesia dan pemimpinnya memiliki komitmen dan kesetiaan, Indonesia akan keluar sebagai pemenanga Perang Generasi Keempat.

Seminar “MEA dan Perang Generasi Keempat” ini merupakan yang kedua menyusul pda bulan lalu STIE/ABA St Pignatelli juga mengadakan seminar yang bertemakan “MEA dan Tantangan Dunia Pendidikan Indonesia”. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas