Terselip Cerita Magis di Balik Tradisi Perang Obor di Jepara
Tak seorang pun kapok meski harus menerima luka usai mengikuti perang obor, tradisi yang berlangsung bersamaan puncak sedekah bumi.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Mamdukh Adi Priyanto
TRIBUNNEWS.COM, JEPARA - Menjelang Senin (2/5/2016) malam, suasana di Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah, berubah menjadi lebih semarak.
Ribuan warga Jepara berkumpul untuk menonton tradisi tahunan perang obor.
Seusai dibuka dengan doa, obor yang terbuat dari pelepah kelapa dan pisang kering disulut api oleh Bupati Jepara, Ahmad Marzuqi dan Wakil Bupati Jepara, Subroto. Perang obor pun dimulai.
Para peserta yang berjumlah 30 orang sudah memegang obor mereka masing-masing, mengambil kuda-kuda untuk siap menyerang lawannya.
Seketika para peserta saling serang, dalam perang obor tidak mengenal istilah kawan atau lawan, karena peserta bisa menyerang peserta mana suka.
Panitia menyediakan sekitar 300 obor yang akan digunakan peserta. Perang obor berlangsung sekitar satu jam atau setelah semua pelepah kelapa habis terbakar.
Untuk mengobati peserta maupun penonton yang mengalami luka bakar, panitia telah menyediakan obat berupa ramuan dedaunan yang telah diberi minyak kelapa.
Meski tidak sedikit yang mengalami luka bakar, para peserta mengaku tidak kapok untuk ambil bagian dalam perang obor tersebut.
Setelah perang obor usai pun tidak ada dendam di antara para peserta.
"Sudah enam tahun saya menjadi peserta perang obor. Sudah turun temurun dari kakek saya. Untuk peserta seperti saya tidak merasakan sakit sama sekali," kata seorang peserta, Agus Susanto (38).
Tradisi perang obor konon bermula dari cerita Kiai Babadan yang mempunyai banyak hewan ternak. Ia memerintahkan Ki Gemblong untuk merawat hewan ternaknya.
"Pada suatu hari, Ki Gemblong lalai akan tugasnya. Ia malah sibuk mencari ikan di sungai bukan merawat hewan ternak milik Kiai Babadan," cerita Kepala Desa Tegalsambi, Agus Santoso.
Karena tidak terurus, hewan ternak itu pun terkena wabah penyakit. Kiai Babadan yang mengetahui hal tersebut marah dan memukulkan pelepah kelapa yang dibakar ke punggung Ki Gemblong.
Tidak terima dengan perlakuan Kiai Babadan, Ki Gemblong membalasnya dengan memukulkan pelepah kelapa yang dibakar itu sehingga keduanya terlibat perang obor.
"Saat perang berlangsung, hewan ternak justru lari dan sembuh dari penyakit. Perang obor ternyata mampu menjauhkan mereka dari petaka," imbuh Agus.
Sejak saat itu, perang obor tumbuh menjadi tradisi yang digelar setiap tahun. Tradisi unik ini digelar bersamaan dengan puncak sedekah bumi sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.