Seminar di UGM: Indonesia Butuh Rekonsiliasi
“Yang paling utama adalah, rekonsiliasi hanya bisa dilakukan ketika kedua belah pihak memiliki sikap saling memaafkan."
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rekonsiliasi sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia karena adanya peristiwa kelam di masa lalu yang tidak terselesaikan.
Dengan rekonsiliasi itu, diharapkan bangsa Indonesia meninggalkan luka batin dalam perjalanan sejarahnya dan agar mampu berjalan ke depan.
Rekonsiliasi hanya bisa dilakukan jika seluruh anak bangsa mampu saling memaafkan.
Demikian ditegaskan mantan Wakasad dan Ketua Jati Diri Bangsa, Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakari dalam seminar Kebangkitan Nasional “Rekonsiliasi Itu Ada Dalam Hati Bangsa Ini” yang diadakan di Gedung Pasca Sarjana Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (20/5/2016) lalu.
Melalui rilis yang masuk ke redaksi Tribunnews.com, kegiatan ini merupakan kerjasama antara Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), Pusat Riset Sosial (SOREC) Departemen Sosiologi, Fisipol, UGM dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Selain Kiki Syahnakri, seminar tersebut menghadirkan Dosen ISI Yogyakarta & Pengasuh PONPES Mambaul Ulum Sumenep DR Miftahul Munir, Kepala SOREC UGM Lambang Trijono Drs MA PhD (cand), Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta DR G Sri Nurhartanto SH dan dipandu oleh Clemon “Emo” Lilik HS (Wartawan).
Menurut Kiki Syahnakari, dalam suatu peristiwa kelam selalu ada kejadian pendahuluan dan peristiwa susulan yang merupakan respon dari kejadian sebelumnya.
Sehingga ada dua peristiwa yang selalu harus dilihat secara utuh dan tidak terpisahkan dalam seluruh konteks peristiwa kelam tersebut.
Kiki menunjuk, kasus Kanigoro merupakan kasus yang mengawali terjadinya peristiwa Oktober 1965.
“Yang paling utama adalah, rekonsiliasi hanya bisa dilakukan ketika kedua belah pihak memiliki sikap saling memaafkan."
"Karena kalau dilihat dari konteks kejadian pendahuluan dan susulan sebagai respon kejadian sebelumnya, pertanyaan siapa yang bertanggung jawab dalam konteks peristiwa kelam tersebut kemudian menjadi perdebatan, apalagi kemudian pemerintah atau negara pada waktu dipertanyakan kehadirannya dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi,” ujar Kiki.
Ditegaskan Kiki, rekonsiliasi selalu terkait dengan masa depan bangsa ini.
Oleh karena itu, rekonsiliasi harus menghapus peristiwa lalu yang kelam dengan cara saling memaafkan segala kesalahan siapapun agar Indonesia dapat berjalan ke masa depan dengan lebih baik.
Dari kacamata Lambang Trijono, peristiwa Oktober 1965 memiliki multi dimensi, ada persoalan pemberontakan PKI, ada urusan kudeta dan ada urusan sosial.
Jika menunjuk pada peristiwa Oktober 1965, harus lebih jelas yang dimaksud denga peristiwa tersebut.
“Konflik siapa dengan siapa, yang dimaksud dengan peristiwa Oktober 1965, karena ada berbagai multi dimensi dalam peristiwa tersebut."
"Yang menjadi pertanyaan kemudian, jika diadakan, rekonsiliasi yang dilakukan untuk peristiwa apa, konflik antar siapa ? Dalam konteks ini pula, jika ada tuntutan permintaan maaf, siapa yang harus meminta maaf dan kepada siapa permintaan maaf itu ditujukan?” ujar Lambang Trijono.
Oleh karena itu, permintaan maaf seluruh peristiwa kelam yang terjadi di Indonesia harus ditujukan kepada para bapa pendiri negara (founding fathers).
Dalam konteks ini, semua konflik dan rekonsiliasi harus dikembalikan kepada visi para bapa pendiri negara (founding fathers).
Dengan mengembalikan semua permasalahan kepada visi para bapa pendiri negara saat kemerdekaan, refleksi atas konflik itu kemudian menjadi jelas adanya.
Sementara Sri Nurhartanto mengatakan, peristiwa G30S PKI masuk dalan tragedi kemanusiaan, bahkan menurut para ahli dianggap sebagai pelanggaran ham yang berat, Jika memang benar demikian, diusulkan menggunakan hukum pelanggaran HAM berat.
Namun yang perlu diingat, rekonsiliasi sudah menjadi fenomena internasional.
“Dalam konteks rekonsiliasi, harus ada pengakuan terlebih dahulu atas peristiwa tersebut – apapun itu. Pengakuan itu akan membawa konsekuensi atas dua pilihan yakni mengingat peristiwa tersebut atau melupakkannya. "
"Bangsa Indonesia belum siap andaikata bangsa ini terkena imbas dengan adanya kesengajaan menghembuskan isu komunisme. Kita bisa menebak negara-negara mana yang memiliki kepentingan dengan kita,” ujarnya.
Bagi Indonesia, menurut Sri Nurhartanto, yang terpenting dari segalanya selain rekonsiliasi adalah negara harus mengambil langkah strategis untuk membentengi mental bangsa, Pancasila sebagai rumah bersama dan itu harus terus digelorakan.
Miftahul Munir menggarisbawahi bahwa rekonsiliasi dalam nilai Pancasila tidak memiliki kencenderungan menyederhanakan persoalan bangsa.
Dalam konteks tersebut terkait dengan menumbuhkan nilai-nilai Pancasila, semangat nasionalisme adalah daya pembakar gairah rekonsiliasi.
Untuk menyelesaikan peristiwa kelam masa lalu, Miftahul mengusulkan rekonsiliasi hendaknya didekati secara psikologis dan rasional.
Menurutnya, Pancasila mengajarkan kita dengan dasar pluralisme budaya untuk berefleksi diri.
Kesadaran sebagai satu bangsa dan bersama-sama berefleksi tentang peristiwa masa lalu yang kelam menjadi medium yang penting bagi bangsa untuk menuntaskan berbagai permasalahan yang tak terselesaikan.(*)