Ini Kelemahan Dissenting Opinion Putusan Bebas LIH
Sesuai Amdal, lahan yang berstatus siaga dan rawan kebakaran adalah lahan yang sedang dalam proses pembukaan lahan.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Penasehat Hukum Frans Katihokang, manajer operasional PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) Hendry Muliana Hendrawan menghormati langkah jaksa penuntut umum (JPU) yang mengajukan kasasi terkait putusan bebas terhadap kliennya.
“Langkah kasasi itu adalah hak JPU. Kami percaya keadilan akan tetap tegak, karena sesungguhnya pak Frans dan LIH adalah korban dari kebakaran lahan yang berasal dari kebun orang lain,” jelas Hendry, Kamis (23/6/2016).
Hendry menegaskan, putusan bebas PN Pelalawan terhadap Frans sangat logis serta melalui proses sidang terbuka dan transparan. Keputusan tersebut juga didasarkan oleh fakta-fakta persidangan dari sekitar 25 saksi fakta, serta sidang lapangan pada 26 April 2016.
Terkait dissenting opinion Hakim Ayu Amelia, Hendry menilai opini tersebut tidak memiliki landasan yang kuat. Sesuai Amdal, lahan yang berstatus siaga dan rawan kebakaran adalah lahan yang sedang dalam proses pembukaan lahan.
Faktanya, seluruh lahan milik LIH, termasuk Gondai sudah selesai proses land clearing dan penanamannya, sehingga masuk dalam proses perawatan saja. Sementara status waspada, seperti yang dipersoalkan Hakim Ayu terhadap lahan Gondai karena cuaca kemarau, berlaku sama bagi seluruh hamparan lahan yaitu Kemang, Penarikan dan Gondai.
“Jadi jika seluruh peralatan di fokuskan di Gondai, seperti jalan pikiran hakim Ayu, maka jika terjadi kebakaran di lahan lainnya, maka LIH akan tetap dipersalahkan. Cara berpikirnya tidak logis,” tegas Hendry.
Hakim Ayu adalah hakim pengganti yang baru mengikuti sidang dengan melewatkan keterangan 23 saksi fakta dari 25 saksi yang dihadirkan di persidangan.
Dalam pertimbangan dissenting opinionnya Hakim Ayu mengatakan bahwa kondisi lahan LIH yang terbakar tidak mengalami kerusakan karena "kemungkinan" tanah merestorasi dirinya kembali. Pernyataan ini sangat tidak lazim mengingat Hakim Ayu tidak punya latar belakang keilmuan tanah. Apalagi dalam persidangan para saksi ahli yang dihadirkan tidak pernah menyampaikan pendapat tentang tanah yang “kemungkinan” merestorasi dirinya.
“Sangat tidak adil menghukum orang dengan teori “kemungkinan”. Keadilan harus berangkat dari fakta, bukan opini. Kasus LIH ini juga bukan panggung untuk mencari popularitas,” imbuhnya.
Hendry kembali menegaskan bahwa dalam kasus ini JPU tegas menyatakan bahwa LIH tidak terbukti sengaja membakar lahan sebagaimana dakwaan primair. Sementara terkait unsur kelalaian pada dakwaan subsidair, Hendry bilang, hal tersebut juga tidak terbukti.
Faktanya, PT LIH telah memiliki sarana dan prasarana seperti yang diatur oleh regulasi. Di lahan Gondai sudah ada menara pengawas, teropong, pompa dan peralatan pemadaman yang jauh diatas ketentuan. Itu sebabnya, LIH mampu memadamkan api yang membakar lahan Gondai seluas sekitar 500 hektar hanya dalam 4 hari.
“Jika lalai, mana mungkin lahan seluas itu dengan kondisi panas luarbiasa pada saat itu bisa padam dalam 4 hari. Pak Frans dan timnya sudah menjalankan SOP dan mempertaruhkan nyawanya untuk memadamkan api. Kok yang begini dibilang lalai, sangat tidak masuk akal,” ujar Hendry.
Sebelumnya Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Riau Saut Sihombing mengapreasi dan mendukung putusan bebas PN Pelalawan terhadap LIH.
“Anggota Gapki tidak mungkin membakar lahannya sendiri. Itu tidak ada untungnya dan justru rugi besar. Kami juga selalu mengikuti SOP dan aturan yang berlaku. Karena itu putusan majelis hakim tepat,” tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.