Cerpenis Hamsad Rangkuti Terbaring Tak Berdaya di Rumah Sakit
Cerpenis Hamsad Rangkuti jatuh sakit, terbaring tak berdaya. Ia mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Medan, Abul Muamar
TRIBUN-MEDAN.COM, MEDAN - Cerpenis Hamsad Rangkuti jatuh sakit, terbaring tak berdaya di ruang J-17 Rumah Sakit Sembiring, Delitua, Sumatera Utara, Sabtu (25/6/2016).
Kondisi tubuh Hamsad nampak sangat kurus. Mulutnya tak bisa bicara. Hamsad telah dirawat di rumah sakit sejak 13 Juni, mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak dan tekanan darah tinggi.
"Kami ke Medan tiga bulan yang lalu. Sebelum ini bapak masih bisa ngomong, masih bisa jalan-jalan. Disempatkannya ke Kisaran juga karena dia besar di sana," ujar istri Hamsad, Nur Hamsad Rangkuti, kepada Tribun Medan.
Hamsad mulai mengidapi berbagai jenis penyakit sejak enam tahun terakhir. Selama kurun itu ia tak lagi aktif menulis.
"Pada 2010 operasi pasang ring di penis. Pada 2012 mulai sakit jantung, operasi by pass jantung. Sekarang penyumbatan pembuluh darah di otak. Stroke ringan jadinya. Kata dokter ada penyumbatan. Kemarin masuk ICU selama delapan hari. Ini sudah bisa keluar," ujar ibu empat anak ini.
Berbagai pernghargaan kepenulisan Hamsad terima, di antaranya penulisan cerpen Kompas (2001), Khatulistiwa Literary Award (2003) untuk Bibir dalam Pispot, dan SEA Write Award (2008).
Satu cerpennya yang paling terkenal dan kontroversial adalah "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," berjejak pada pengalamannya menaiki kapal penyeberangan dari Bakauheni ke Merak.
Mantan pemimpin redaksi Majalah Horison ini lahir di Titi Kuning, Medan, Sumatera Utara, pada 7 Mei 1943, dengan nama Hasyim Rangkuti.
Ia banyak menghabiskan masa mudanya di Kisaran dan Tanjungbalai, bersama sahabatnya yang juga pengarang, Martin Aleida.
Menulis Tak Kenal Waktu
Cerita pendek pertama Hamsad, "Sebuah Nyanyian di Rambung Tua", ditulisnya saat ia masih duduk di bangku SMP di Tanjungbalai, Asahan, pada 1959.
Diam-diam temannya 'mencuri' cerpen tersebut lantas dikirimkan ke sebuah surat kabar di Medan dan terbit. Cerpen tersebut lalu diikutsertakan dalam lomba cerpen di Medan hingga menang.
"Abang (suami) enggak tahu siapa yang mengambil. Tahu-tahu sudah terbit di Medan. Diikutkan dalam lomba, menang pula," cerita Nur.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.