Kesaksian Pemandi Jenazah Terpidana Mati: Tenda Rubuh dan Dua Kali Listrik Padam
Jalannya eksekusi terhadap terpidana mati kali ini lain dari biasanya. Pemandi jenazah, Suhendro, merasakan hal luas biasa di Pulau Nusakambangan.
Editor: Y Gustaman
Kesepuluh terpidana mati yang harus dimandikan Suhendro adalah tujuh terpidana beragama Kristen dan tiga terpidana beragama Katolik.
"Yang memandikan jenazah dari Kristen 11 orang dan Katolik ada enam orang," ungkap Suhendro.
Suhendro menceritakan waktu untuk memandikan satu jenazah sekitar 60 menit. "Setelah ditembak, harus dipastikan dulu sudah meninggal atau belum lalu dijahit lukanya, dimandikan, dipakaikan baju," terang dia.
Pada eksekusi tahap pertama, Suhendro memandikan lima jenazah terpidana dan pada eksekusi mati tahap kedua memandikan tujuh jenazah.
"Grogi sih tidak, tapi memang ini tidak ringan. Saya memandikan jenazah sudah sejak tahun 1992," terang dia.
Pada eksekusi mati tahap pertama dan kedua, Suhendro bahkan menyediakan perlengkapan kematian untuk jenazah terpidana mati. Di antaranya peti, salib, dan lainnya.
"Tetapi untuk eksekusi tahap ketiga kali ini saya tidak diminta menyediakan perlengkapan kematian. Semua perlengkapan kematian jenazah terpidana sudah disediakan pihak kejaksaan dan kepolisian," kata dia.
Jelang detik-detik eksekusi tak memengaruhi aktivitas masyarakat di sekitar Pulau Nusakambangan, Cilacap. Warga setempat, Kendar (34) bertutur, masyarakat sudah terbiasa dengan pelaksanaan eksekusi mati.
"Ini (pelaksanaan eksekusi mati) bukan yang pertama kali. Masyarakat tidak takut, meski kali ini pelaksanaannya pada malam Jumat Kliwon yang biasanya dikaitkan dengan sesuatu bersifat mistis," kata Kendar saat ditemui di rumahnya di Kampung Wijaya Pura, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap.
Rumah Kendar hanya berjarak beberapa meter dari Dermaga Wijaya Pura, akses utama menuju Pulau Nusakambangan. Kendar menyebut kawasan dermaga dan Pulau Nusakambangan dikenal angker.
"Saya beberapa kali melihat mahluk gaib,” cetusnya.
"Pernah melihat kuntilanak, kemudian sosok sosok pria yang jelas bukan manusia. Tetapi saya dan masyarakat di sini sudah terbiasa dan tidak takut," terang lelaki yang juga punya warung makan di dekat Dermaga Wijaya Pura.
Menurut Kendar, masyarakat di kampungnya punya kepercayaan bila ada seseorang meninggal pada malam Jumat Kliwon justru sebagai 'hari baik'.
"Jadi warga percaya kalau ada orang meninggal pada malam Jumat Kliwon malah banyak temannya," ungkap Kendar.