Siswa SDN 32 Simpang Hulu Tak Kenakan Sepatu, Jalan Kaki 3 Kilometer Untuk Sekolah
Ini dikarenakan jauhnya jarak kampung masing-masing anak, belum lagi ditambah dengan infrastruktur yang belum memadai.
Penulis: Tito Ramadhani
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Tito Ramadhani
TRIBUNNEWS.COM, KETAPANG - Kepala SDN 32 Simpang Hulu Saidi mengisahkan, untuk mengenyam pendidikan di SDN 32 Simpang Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat yang dipimpinnya, rata-rata anak didiknya harus menempuh berjalan kaki dengan jarak sekitar 3 hingga 3,5 kilometer setiap harinya.
Ini dikarenakan jauhnya jarak kampung masing-masing anak, belum lagi ditambah dengan infrastruktur yang belum memadai.
"Rata-rata mereka berjalan 3 sampai 8 kilometer berjalan kaki dari kampung-kampungnya, seperti Kampung Lempaong, Sungai Kapol atau bahkan yang bermukim di kawasan PT Aditiya tadi," ungkapnya, Kamis (28/7/2016).
Anak-anak yang pemukimannya jauh dari sekolah, terpaksa harus berangkat lebih subuh dibanding anak-anak yang tinggal di Desa Balai Pinang. Karena orangtuanya bekerja, sehingga tak dapat mengantarkan ke sekolah dengan sepeda motor.
"Ada juga yang harus menyeberangi sungai, itu dari Kampung Sungai Kapol, dua kali mereka menyeberangi sungai. Saya buatkan sampan yang bisa memuat 12 orang. Dan mereka tidak pernah terlambat," tegas Saidi.
Siswa yang pemukimannya cukup jauh dari sekolah, diperkirakannya sekitar 30 siswa. Sementara yang dari Sungai Kapol sekitar 8 siswa.
Walau, menurut ceritanya saat ini sudah ada jalan yang dibangun perusahaan, namun jika ditempuh dengan kendaraan masih cukup jauh.
"Jauh juga kalau pakai kendaraan, selain itu kalau musim hujan mereka ndak mampu pakai sepeda motor, mereka jalan kaki ke sekolah," jelasnya.
Saidi tak menampik, jika ada sebagian anak didiknya masih tak mengenakan seragam sekolah, atau bahkan terlihat mengenakan sandal. Hal ini menurutnya disebabkan keterbatasan ekonomi dari keluarga siswa tersebut.
"Mereka ini bahkan ndak punya rumah yang layak. Kemarin pernah kami foto, ada sekitar 30 rumah, jadi rumahnya ini bisa disebut gubuk," paparnya.
Selain itu, menurutnya anak-anak ini kebanyakan memang anak dari warga pendatang, yang orangtuanya bekerja di perusahaan. Sehingga masih ada yang belum memiliki rumah.
"Jadi kalau mereka ke sekolah sini, walau nggak menggunakan sepatu, yang penting mereka bisa bersekolah atau mengenyam pendidikan, itu saja kami sudah bersyukur," tutur Saidi.
Untuk mengatasi hal ini, Saidi mengatakan pihak sekolah secara perlahan mulai mengenalkan kepada siswa untuk gemar dan giat menabung agar dapat membeli sepatu hingga seragam sekolah.
"Walau kami pernah mendapatkan bantuan PNPM sebesar Rp 850 ribu selama tiga bulan. Uang ini sengaja kami tidak bagikan seluruhnya, kami mengecek mana anak-anak yang mereka ndak punya sepatu dan seragam, dari uang ini juga dapat kami berikan," terangnya.
Pria kelahiran Balai Berkuak tahun 1969 ini menambahkan, di sekolah tersebut bukan berarti tak mengedepankan kedisiplinan. Namun, kondisi sosial di sekitar sekolah harus menjadi pertimbangan pihaknya untuk menerapkan kedisiplinan tersebut.
"Yang penting anak-anak mau sekolah, karena sangat sulit. Bahkan saya pernah sampaikan hadits Alquran, sama paman saya yang ndak mau menyekolahkan anaknya," kisahnya.
Saat itu Saidi mengatakan, sudah saatnya anak pamannya bersekolah. Namun pamannya menyahut dengan mengatakan, untuk apa sekolah, sudah banyak yang jadi camat atau polisi.
"Akhirnya saya sampaikan hadits, kalau meninggal nanti paman akan kena tuntut anak. Karena tak pernah memberikan kesempatan mengenyam pendidikan, karena pendidikan di dalam Islam itu wajib. Mendengar itu, alhamdulillah paman saya mau menyekolahkan anaknya," sambungnya.