Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Sutaji dan Munawaroh, Pasangan Pencari Rumput yang Pergi Haji

Kehidupan rasa-rasanya memang terus berputar. Jika dahulu, untuk pergi menunaikan ibadah haji, hanya mampu dilakukan orang berduit

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Kisah Sutaji dan Munawaroh, Pasangan Pencari Rumput yang Pergi Haji
Kompas.com/Nazar Nurdin
Mutaji dan istinya Munawaroh bercerita tentang kisahnya mencari uang untuk mendaftar haji. Dia akan berangkat pada 2 September 2016 mendatang melalui embarkasi Donohudan, Boyolali. 

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG -- Kehidupan rasa-rasanya memang terus berputar. Jika dahulu, untuk pergi menunaikan ibadah haji, hanya mampu dilakukan orang berduit. Kini, pergi berhaji tak selalu demikian. Selalu saja ada hal unik yang terjadi.

Begitu pula dengan pasangan Sutaji (58) dan Munawaroh (57), yang nyata telah mempraktikkan hal itu. Pasangan ini bukan dari keluarga berada. Pekerjaannya serabutan. Penghasilannya sangat minim, dan kehidupannya juga pas-pasan. Namun dengan tekad kuat dan niat yang tulus, salah satu impian besarnya akhrnya bisa terwujud.

Ya, meski harus menunggu hingga hampir 11 tahun, impian pergi naik haji bisa terlaksana di tahun 2016 ini. Mutaji-Munawaroh akan diberangkatkan pada 2 September 2016 dari Kloter 68 Kota Semarang.

Bersama dengan para jamaah lain, ia akan diberangkatkan ke Arab Saudi melalui Embarkasi Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah.

Pencari rumput

Kisah warga kampung Kliwonan Rt 03/07 Kelurahan Tambakaji, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang itu meninggalkan kesan mendalam. Sebelum berniat pergi berhaji, keduanya minta restu pada ketiga anaknya.

“Nak, bapak dan ibu mau niat haji ya. Setuju atau tidak?” kata Mutaji, menceritakan asal mula keinginanya pada tahun 2005 lalu.

Berita Rekomendasi

Ketiga anaknya pun merestui orangtuanya nantinya menabung pergi berhaji. Sejak itu, pasangan ini sepakat mencari nafkah sebanyak-banyaknya untuk mendaftar biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).

Setelah bekerja serabutan sebagai kuli panggul di pasar, Mutaji mulai berbenah. Dia menyadari usia tuanya tidak mampu mengangkat beban berlebih. Sejak saat itulah, dia menawarkan jasa untuk mengelola ternak sapi. Ia memilih ternak penggemukan, ketimbang peternakan.

Kepada warga, dia menyampaikan siapa yang ingin mengembangkan usahanya. Setelah lama ditawarkan akhirnya ada warga yang membantu untuk menggemukkan sapi. Setelah ada yang bersedia, Mutaji akhrinya mencari rumput sebagai pakan ternak saban harinya.

“Setiap hari saya selalu mandikan (sapi) pakai air panas. Saya merawatnya rutin, bahkan tiap malam selalu kepikiran, besoknya (sapi) mau dikasih makan apa,” kisah Sutaji, saat ditemui Kompas.com, di kediamannya.

Dalam mencari rumput, dulunya ia jalan kaki menarik gerobak. Namun karena jalanan menanjak di dekat rumahnya serta jarak yang harus ditempuh, dia akhirnya mencari gledekan (kendaraan).

Beruntung, ada tetangga yang iba yang minta dirinya membeli sepeda motor seharga Rp 1 juta untuk mencari rumput. Ia pun mencari rumput di kawasan industri. Tempat itu dicari karena banyak tanah lapang yang kosong dimana rumput tumbuh liar. Dari beternak, ia mendapati keuntungan.

“Dari 2 ekor hasil pertama menjadi 5, tahun 2010 semua dijual untuk daftar haji,” ujarnya.

Untuk menopang kebutuhan rumah tangga sehari-hari, peran Munawaroh terlihat vital. Di rumahnya, ia bekerja sebagai penjahit pakaian.

“Jahit bajunya tetangga,” imbuh ibu tiga anak ini.

Bertahun-tahun bekerja mencari rumput inilah yang membuat Mutaji dan istinya mendapat imbalan hingga bisa cukup untuk pendaftaran haji pada 2010. Untuk melunasi biaya haji dan uang sakunya, dia pun melakukan hal serupa hingga 2016 ini.

Imbalan dari usaha penggemukan ternak tidak pernah dinikmatinya. Uang itu ditabung untuk kepentingan impiannya itu.

“Kuncinya satu mas. Kalau anak-anak sudah setuju, kita sudah mantapkan niat, ya sudah. Kita bekerja, tinggal nanti tuhan yang menentukan,” kata Mutaji.

Hingga kini, pasangan ini masih tidak menyangka bisa menunaikan ibadah haji yang baginya sudah seperti mimpi. Saat menceritakan kisahnya, mata Mutaji sempat berkaca-kaca menahan agar air matanya tidak menetes. Dia terharu lantaran merasa sebagai orang yang tidak berpendidikan (tidak lulus SD) ternyata masih bisa tetap berhaji.

"Saya berterimakasih kepada Allah. Saya akhirnya sudah punya biaya. Saya tidak pernah menabung uang sama sekali untuk berhaji, Rp 1.000 pun tidak. Memang jalannya seperti itu," kisahnya.

Mutaji dan istrinya cukup beruntung karena ketiga anaknya gotong royong membantu segala persiapan mereka, termasuk syukuran kepada warga sekitar sebelum berangkat haji.

"Saya sudah setahun ini berhenti kerja dulu. Alhamdulillah, badannya sudah tidak kurus seperti saat kerja dulu. Ini syukuran juga anak-anak yang biayai," ujar Munawaroh.

Kerja keras dan niatan yang tulus tampaknya menjadi hal baik yang perlu dipelajari bagi banyak orang. Semoga menjadi Haji yang Mabrur. (Nazar Nurdin)

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas