Cerita Leluhur Tentang Pura di Dalam Laut Dekat Pelabuhan Benoa
I Wayan Wirtha meyakini keberadaan Pura Dalem Karang Tengah memiliki hubungan secara niskala terhadap leluhurnya.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Putu Santiasa
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pura Dalem Karang Tengah berada di tengah laut, antara Pelabuhan Benoa dan Tanjung, Badung Selatan, Bali, sudah dikeruk sejak 1999.
Banyak warga masih meyakini keberadaan Pura Dalem Karang Tengah di tengah laut. I Wayan Wirtha, warga Banjar Rangkan Sari, Desa Pakraman Kepoan-Pemogan, Denpasar Selatan, antusias membahas jejak Pura Dalem Karang Tengah.
Hingga saat ini masih meyakini keberadaan Pura Dalem Karang Tengah memiliki hubungan secara niskala terhadap leluhurnya yang hingga kini ia warisi.
Baca: Cerita Mistis Pura di Tengah Laut Benoa, Bersemayamnya Naga Basuki
Pelabuhan Benoa.
Hubungan tersebut masih dilakukan ketika upacara piodalan di merajan rumahnya yang jatuh pada Sukra Pon Dukut, setiap 6 bulan sekali.
Beberapa hari sebelum upacara piodalan Wirtha akan memendak tirta dari Pura Dalem Karang Tengah dari tepi Pantai Benoa atau Serangan.
Tirta ini merupakan simbol dari Ida Bhatara yang melinggih di Pura Dalem Karang Tengah, kemudian dihaturkan banten piodalan di rumahnya di Jalan By Pas Ngurah Rai No 860.
"Saya jarang mendak tirta ke tengah laut, biasanya dari tepi pantai. Tapi sebelum memendak saya mengucapkan mantra dan memberitahu maksud saya kepada beliau," kata Wirtha yang juga guru agama di SMA Negeri 1 Kuta ini.
Dalam prosesi mendak tirta, Wirtha dan adiknya pernah mengalami kejadian aneh. Saat itu permukaan air berwarna cokelat karena kotoran dan terdapat minyak.
Adik Wirtha merasa pesimistis menggunakan air tersebut sebagai tirta, setelah Wirtha memanjatkan doa, dengan penuh keyakinan ia mengambil air tersebut menggunakan sebuah toples bening.
"Saat air berada di toples, air tersebut berubah menjadi bening, sebening air mineral. Lama-kelamaan rasanya seperti tirta ukupan. Mungkin beliau mendengar doa saya,” Wirtha mengenang.
Lebih jauh Pak Bir panggilan akrab Wirtha menguraikan kedekatan hubungan leluhurnya terhadap Pura Dalem Karang Tengah. Ia menyakini leluhurnya seorang tokoh yang memiliki kewisesan (kesaktian). Salah satu kesaktiannya diperoleh dari paica Pura Dalem Karang Tengah.
Saat itu leluhurnya adalah seorang dalang, jika mendapat panggilan untuk bermain di daerah Tanjung, seluruh kelengkapan yakni wayang, gender, diangkut menggunakan alat transportasi menuju Tanjung.
Sementara leluhurnya dan sejumlah pendukung pementasan wayang melewati samudera, berjalan di atas air menuju daerah Tanjung. Iring-iringan tersebut hanya memegang kraras (daun pisang kering) sebagai tali pengikat barisan.
Pada waktu melintasi Pura Dalem Karang Tengah leluhur Wirtha yang menjadi pemimpin barisan tersebut akan tangkil ke Pura Dalem Karang Tengah, dengan cara menceburkan diri ke dalam air.
Sebelumnya ia meminta izin kepada rekan-rekannya dan berpesan agar memegang kraras dengan erat agar tidak terjatuh ke samudera. Ajaibnya sewaktu naik kepermukaan, baju yang ia kenakan tidak basah sedikit pun.
“Begitulah cerita yang saya dapatkan dari leluhur terdahulu, entah generasi keberapa itu, yang jelas pada zaman kerajaan di Bali. Hingga kini saya sebagai generasi penerusnya masih menjalankan tradisi mendak tirta dan piodalan untuk Pura Dalem Karang Tengah,” kata Wirtha yang enggan disebut sebagai pengempon Pura Dalem Karang Tengah.
Menurut Jero Mangku I Made Widnya, Pura Dalem Karang Tengah awalnya berbentuk gundukan batu karang berwarna putih yang dikelilingi oleh palung laut yang sangat dalam.
Lokasinya berada di pertemuan lima aliran sungai, yakni Sungai Suwung, Sungai Badung, Sungai Candi Darmada, Sungai Jimbaran, dan Sungari Trora.
Pada 1999 gundukan ini dikeruk pihak pelabuhan karena menganggu proses berlabuhnya kapal. Mereka membuat pelinggih penyawang Pura Dalem Karang Tengah di pelabuhan selatan di bawah pohon Beringin, berdekatan dengan Pura Segara Pelabuhan Benoa.