Janda Tua Sebatang Kara Dibiarkan Hidup Dalam Gubuk Selama Belasan Tahun
Janda tua sebatang kara ini hanya tinggal di rumah panggung miliknya yang berukuran 4x3 meter tepatnya di tepi jalan lintas gampong di daerah itu.
Editor: Wahid Nurdin
Laporan wartawan Serambinews.com, Seni Hendri
TRIBUNNEWS.COM, IDI - Kondisi kehidupan Nur Asiah (56), warga Gampong Paya Awe, Kecamatan Idi Tunong, Aceh Timur sangat menyedihkan.
Pasalnya, janda tua sebatang kara ini hanya tinggal di rumah panggung miliknya yang berukuran 4x3 meter tepatnya di tepi jalan lintas gampong di daerah itu.
Jarak rumah Asiah dengan dari kantor keuchik sekitar 50 meter. Di sebelah kiri dan depan rumah Asiah berdiri rumah-rumah semi permanen.
Serambinews.com (Tribunnews.com network) yang ditemani warga setempat, Saiful, tiba di rumah Asiah, sekitar pukul 08.30 WIB, Kamis (29/9/2016).
Jika melihatnya, seakan masih tak percaya bahwa gubuk yang tunjuk Saiful tersebut ada penghuninya.
Karena di depan rumah itu banyak tumpukan plastik bekas, rumahnya yang berbentuk panggung itu dindingnya juga telah bolong-bolong.
Atapnya yang terbuat dari daun rumbia juga sudah bocor, selain ditutupi tenda biru juga ditutup plastik sehingga tembus pandang.
Kemudian Saiful menjemput Asiah yang saat itu sedang mengambil air di meunasah setempat berjarak 50 meter.
Setelah turun dari sepeda motor, Asiah terlihat berjalan bungkuk sambil menggunakan sebatang kayu ukuran kecil sebagai tongkat.
“Sakit semua kaki, paha, dan pinggang saya,” ungkap Asiah sambil tersenyum saat membuka pintu dan mepersilakan masuk ke rumahnya.
Sesampai di dalam, sungguh pemandangan yang mengejutkan. Sama sekali tak ada perabotan apapun, yang ada tumpukan plastik dan kardus bekas diantara lantai rumah yang sudah keropos.
Atap rumahnya juga bolong-bolong, sebagian ditutup tenda biru, dan sebagian lagi ditutup plastik.
"Saya tidur di sudut itu," kata Nur Asiah menjawab Serambinews.com sambil menunjukan lantai yang beralaskan kardus dan dipenuhi plastik bekas.
Kalau hujan bagaimana? sambung Serambinews.com.
“Ya basahlah. Kalau hujan kaki saya basah ditetesi air. Tapi saya tutupi dengan plastik,” jawab Asiah dengan tersenyum.
Asiah mengaku sudah belasan tahun tinggal di rumahnya tersebut yaitu sebelum Aceh dilanda konflik hingga sekarang.
Ia mengaku suaminya Mat Risad telah meninggal dunia sebelum Aceh dilanda konflik.
Ia sempat dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Salbiah, namun terlebih dulu meninggal dunia empat tahun sebelum sang suaminya kembali kepada Sang Ilahi.
Untuk makan sehari-hari, Nur Asiah hanya mengandalkan pendapatan dari hasil penjualan brok-brok (barang bekas).
"Inilah, itupun harganya Rp 1.000-1.500 ribu/kilogram. Jadi kadang-kadang saya makan dan kadang-kadang tidak,” ungkap Asiah masih dengan wajah tersenyum.
Nur Asiah, mengaku masih memiliki adik kandung yang juga tinggal di gampong tersebut.
Namun, hanya diberi bantuan saat hari-hari tertentu, contohnya seperti hari meugang diberi daging yang sudah masak.
Selain itu, Asiah mengaku memiliki kebun seluas enam rante yang ditanami kakao. Namun saat ini, kakao tersebut juga belum ada hasilnya.
"Jika ada uang lebih dari hasil panen buah cokelat (kakao), saya mau buat atap rumah. Itupun kalau ada lebih dari yang saya makan,” ungkap Asiah.
Asiah mengaku selama ini belum pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah bahkan tak ada perwakilan dari pemerintah satupun yang perhatian terhadap dirinya selama ini.
Meski jarak rumahnya dengan kantor keuchik hanya puluhan meter saja.
“Kalau pemerintah mau bantu ya maunya dibantu rumah saja,” jawab Asiah sambil tersenyum.
Kepada Serambinews.com, Asiah mengaku hanya menginginkan rumah yang layak untuk tempat tinggalnya. Itupun kalau pemerintah ingin membantunya.
”Kalau tidak ya saya tetap tinggal di rumah ini," ungkap Asiah yang masih tersungging senyuman dari bibirnya. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.