Mereka Bingung, Tadinya Diajak ke Taman, Ternyata Kemudian Dijadikan Massa Demo
Khasanah sama sekali tidak memahaminya, bahkan ia menjelaskan tidak mempermasalahkan hal itu, karena anaknya yang berada di SMP Negeri 30
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Puluhan warga Surabaya mendatangi Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya. Sebagian dari mereka menggunakan angkot, sebagian lagi menggunakan motor.
Mereka memarkir kendaraan di area taman ekspresi yang berada tepat di depan kantor Dindik Jatim, Genteng kali.
Orang-orang ini memakai pita merah putih yang dibagikan beberapa orang yang memakai baju bertuliskan SURABAYA. Tak lama kemudian mereka mulai berkumpul dan mengikuti panduan orator untuk membawa bermacam-macam tuntutan pendemo yang dituliskan di kertas dan juga kain.
Beberapa orang terlihat bersemangata meneriakkan sekolah gratis. Namun, beberapa lagi hanya berdiri bahkan duduk di pedestrian jalan menyaksikan pendemo lainnya.
Ekspresi bingung terlihat di wajah Khasanah (38) dan 14 temannya, warga Keputih yang juga berada di kerumunan demonstran meminta pembiayaan sekolah SMA/SMK untuk tetap gratis.
“Tadi cuma diajak, kalau mau ikut kumpul-kumpul di taman Ekspresi, semua biaya ditanggung. Ada tadi yang ngajak, nggak tahu siapa,” jelasnya ketika ditemui SURYA.co.id, Kamis (29/9/2016).
Ketika ditanya, terkait tuntutan pendemo yang meminta pendidikan gratis untuk SMA dan SMK.
Khasanah sama sekali tidak memahaminya, bahkan ia menjelaskan tidak mempermasalahkan hal itu, karena anaknya yang berada di SMP Negeri 30 masih bebas biaya pendidikan.
“Tetangga saya yang sekolah swasta juga bayar sekarang SPP-nya. Kalau saya ya nggak pingin ikut demo, wong nggak punya anak SMA,” tuturnya.
Sedangkan Atimah (51) warga Wonokromo yang datang dengan rombongan 15 angkot di wilayahnya mengaku memang ingin memperjuangkan pendidikan gratis. Apalagi anaknya yang sekolah di SMKN 4 saat ini juga menikmati fasilitas dari pemerintah Kota Surabaya tersebut.
“Kerja saya apa aja, setahun ini kadang jaga orang sakit, kadang juga jadi pesuruh. Paling banyak dapat Rp 700 ribu. Kalau untuk bayar SPP anak pasti kurang,” jelas janda 2 anak ini.
Mendukung keluhan masyarakat akan kekhawatiran sekolah yang tidak akan gratis lagi, Koordinator demo, Sabar Swastono mengungkapkan kekhawatiran masyarakat ini timbul karena tidak adanya jaminan sekolah gratis setelah SMA/SMK dikelola oleh Dindik Jatim.
“Karena biasa sekolah gratis, setelah ada statemen tidak ada sekolah gratis dari Dindik Provinsi yang diberitakan di SURYA. Warga kaget, kami spontanitas tadi pagi meminta ijin ke kepolisian untuk berdemo,” jelasnya.
Ia menyayangkan sekolah di Surabaya yang gratis tidak diteruskan. Menurutnya, DIndik Jatim seharusnya tidak hanya membicarakan tentang kebijakan, tetapi lebih baik memikirkan bagaimana lulusan SMA dan SMK bisa tersalurkan ke dunia kerja.
“Kalau ada nggak ada anggaran ya jangan dipaksakan untuk dikelola provinsi. Surabaya juga Indonesia, jika ada dana untuk sekolah gratis kenapa tidak tetap dikelola Surabaya saja. Saya akan berjuang dengan orang kampung untuk sekolah gratis. Wong terbiasa enak nggak bayar kok disuruh bayar sekarang,” lanjutnya.
Menurutnya, Kebijakan yang menganut undang-undang yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat patut ditolak. Apalagi undang-undang hanya buatan manusia, ia menegaskan lebih baik mementingkan karakter bangsa.
“Kalau sudah bisa mandiri (mengelola pendidikan) apa dipaksakan ikut undang-undang agar jadi berbayar sekolahnya. Saya jelas menolak undang-undang itu. Biar gubernur peduli, maslah ini harus disesuaikan dan dibicarakan di tiap daerahnya bagaimana karakteristiknya,” paparnya. (Sulvi Sofiana)