Fashion Show Batik di Beringharjo "Pertahankan Yogyakarta Kota Batik Dunia"
GKBRAy A Paku Alam X dan GBRAy Murdo Kusumo membuka diri bagi siapa saja terutama generasi muda belajar batik dari Pakualam ataupun Kraton Kasultanan.
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - GKBRAy A Paku Alam X, isteri dari Wakil Gubernur DI Yogyakarta mendukung rencana Pusat Perbelanjaan Beringharjo untuk menggelar peragaan busana (fashion show) batik sebagai bentuk komitmennya pada pelestarian warisan budaya batik.
Dengan peragaan busana tersebut diharapkan para pedagang dan masyarakat umum bersama-sama menjaga pelestarian dan sekaligus menjadikan Beringharjo sebagai destinasi wisata Batik.
Dukungan ini juga diberikan dengan menyadari dinobatkannya Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia oleh World Craft Center pada tahun 2014 di China.
Dukungan itu ditegaskan GKBRAy A Paku Alam X kepada Gunawan Nugroho Utomo Kepala UPT Bisnis Beringharjo (Pengelola Pusat Perbelanjaan Beringharjo) yang menjadi nara sumber dalam acara 'Bincang Batik' yang diselenggarakan di Avocado Media Corner (Omah Media), Yogyakarta, Rabu (5/10/2016) kemarin.
Bincang Batik tersebut merupakan sebuah kegiatan yang dilaksanakan oleh Kampung Wisata Budaya Langenastran, Yogyakarta yang mengangkat tema 'Batik & Batok Night' dengan puncak acara pada 15 Oktober 2016.
Hadir pula sebagai pembicara adalah GBRAY Murdo Kusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, Eddy Purjanto Wakil Ketua Umum KADIN Yogyakarta Bidang Industri Kreatif, Jasa, Budaya dan acara dipandu oleh AM Putut Prabantoro dari Avocado Media Corner.
“Saya mendukung Beringharjo mengadakan fashion show batik di tengah-tengah pasar. Ada dua hal yang bisa dicapai dengan fashion show tersebut yakni pelestarian batik oleh para pedagang dan masyarakat pembeli serta sekaligus menjadikan Beringharjo sebagai destinasi wisata batik. Kita semua memiliki tanggung jawab atas pelestarian warisan budaya leluhur,” ujar GKBRAy A Paku Alam X.
Selain itu, GKBRAy A Paku Alam X yang juga seorang pembatik, mengingatkan bahwa masyarakat yang tinggal di Yogya juga memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia.
Predikat itu dapat dipertanyakan lebih lanjut jika kelak kemudian ternyata , misalnya, masyarakat Yogya tidak ada yang mengenakan batik lagi dan tidak ada pembatiknya.
Oleh karena itu ditegaskannya, Beringharjo harus memberi edukasi kepada masyarakat pedagang dan pembeli tentang eksistensi batik.
Menurut Eddy Purjanto, ada 7 kriteria sehingga Yogyakarta disebut sebagai Kota Batik Dunia dan bukan kota lain.
Tujuh kriteria tersebut adalah, nilai historis, orisinalitas, upaya pelestarian melalui regenerasi, nilai ekonomi, ramah lingkungan, mempunyai reputasi internasional, serta persebarannya.
“Gelar sebagai Kota Batik Dunia hanya berlaku 4 tahun dan dapat dicabut jika ketujuh kriteria itu tidak terpenuhi. Oleh sebab itu, adalah penting bagi masyarakat Yogyakarta memahami gelar tersebut dalam posisi percaturan batik dunia."
"Dulu pernah batik diklaim oleh Malaysia tetapi akhirnya tidak jadi karena tidak terpenuhi kriteria tersebut, “ ujar Eddy Purjanto yang juga Ketua Humas Yogyakarta International Batik Binalle.
Menurut Eddy ada tiga jenis Batik yang diketahui umum yakni batik tulis, batik cap dan kain bermotifkan batik.
Namun yang dinamakan Batik yang sesungguhnya adalah batik tulis yang memiliki seni tinggi dalam membuatnya.
Yang dinamakan batik bukan hanya motif tetapi juga proses pembuatan, pembuatan motif dan pewarnaan.
Keprihatinan akan masa depan batik tulis diungkapkan GBRAy Murdo Kusumo yang menyatakan bahwa generasi saat ini yang berniat membatik sangat sedikit.
Menurutnya, dengan alasan kepraktisan pembeli lebih cenderung memilik batik nontulis.
Padahal dalam tradisi membatik, membuat motif itu harus mengerti dan memahami filosofi Jawa yang terkandung di dalamnya.
Terkait dengan peletarian pembatik (regenrasi), baik GKBRAy A Paku Alam X dan GBRAy Murdo Kusumo membuka diri bagi siapa saja terutama generasi muda untuk belajar batik dari Pakualam ataupun dari Kraton Kasultanan. (*)