Bali Tertinggi Pengidap Penyakit Cacing Pita di Indonesia
Bali merupakan provinsi dengan kasus penyakit sistiserkosis tertinggi di Indonesia, kemudian disusul Papua dan Sumatera Utara.
Editor: Dewi Agustina
Kotoran dari BAB di luar WC itu tersebar, termasuk mencemari rerumputan, yang kemudian dimakan oleh hewan ternak seperti babi dan sapi.
Selain itu, masyarakat di Kubu juga terbiasa membuat lawar babi mentah.
Selain babi, sapi juga berpotensi membawa telur-telur cacing pita.
Namun khusus di Bali, perantara penularan lebih banyak lewat babi, karena adanya kebiasaan di Bali untuk lebih banyak membuat lawar babi.
"Padahal, daging dalam keadaan mentah masih tidak bagus dikonsumsi. Setidaknya daging harus direbus dulu sebelum benar-benar dimakan, sehingga berpotensi membawa bibit-bibit cacing pita," ujar Sudarmaja.
Cacing dapat bertahan hidup lama dalam tubuh manusia, karena berbentuk kista yang keseluruhan fisiknya terselubung.
Cacing pita menetap di usus, sementara kista-kista kecil di usus dapat terbawa oleh darah dan kemudian menyebar ke anggota tubuh seperti kulit, mata dan otak.
Apabila menyerang mata, itu akan menyebabkan pasien mengalami kebutaan dan apabila menyerang otak akan mengakibatkan kematian.
Penderita Jadi Kurus
Sudarmaja menyebutkan, apabila di dalam tubuh seseorang terdapat cacing pita, maka sari-sari makanan yang ia konsumsi akan sebagian diserap oleh cacing pita. Itu juga bisa membuat penderita sistiserkosis menjadi kurus.
Pengobatan sistiserkosis, diakui Sudarmaja, masih sangat susah sehingga obat sistiserkosis harus dibeli di luar negeri (seperti di Italia) karena di Indonesia belum ada-apa pada saat itu.
Keberadaan kista cacing diketahui dengan cara biopsi terlebih dahulu, dan apabila menyerang otak maka pasien tidak bisa ditolong lagi.
"Stroke saja susah diobati, apalagi sistiserkosis. Kalau hanya hidup di kulit tidak apa-apa," ujar Sudarmaja, sembari mengatakan sejauh ini dia belum ada pasien sistiserkosis di Bali yang sampai terserang otaknya dan kemudian berakibat kematian.
Selain sistiserkosis, simposium internasional juga membahas kasus-kasus perjamuran di kawasan Asia Pasifik serta infeksi virus bakteri, cacing (parasit) dan rabies.
Ketua panitia simposium, dr Made Swastika Adiguna Sp KK, menjelaskan topik tentang perjamuran itu dipilih karena penyakit jamur banyak terjadi di Indonesia dan juga di dunia.