Bali Tertinggi Pengidap Penyakit Cacing Pita di Indonesia
Bali merupakan provinsi dengan kasus penyakit sistiserkosis tertinggi di Indonesia, kemudian disusul Papua dan Sumatera Utara.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Bali merupakan provinsi dengan kasus penyakit sistiserkosis tertinggi di Indonesia, kemudian disusul Papua dan Sumatera Utara.
Sistiserkosis adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing pita atau taenia.
Secara awam, sistiserkosis biasa disebut sebagai penyakit cacing pita.
Demikian diungkapkan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK Unud), dr Made Sudarmaja SpKK Mkes, dalam simposium nasional tentang infeksi kulit tropis di Kuta, Badung, Minggu (23/10/2016).
Simposium itu diadakan berbarengan dengan Kongres ke-6 Masyarakat Mikologi Medis Asia-Pasifik.
Dokter spesialis kulit dan kelamin RSUP Sanglah yang sekaligus ketua panitia simposium, dr Made Swastika Adiguna Sp KK, menjelaskan kongres selama tiga hari berturut-turut (21-23 Oktober) tak hanya mengundang dokter dari dalam negeri, tetapi juga dari China, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Filipina, Rusia dan Brazil.
Sudarmaja menjelaskan, penyakit sistiserkosis adalah infeksi jaringan pada manusia yang disebabkan oleh telur cacing pita (taeniasolium dan taenia asiatica) dengan perantara babi, dan kemudian termakan oleh manusia.
Berdasarkan data WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), sekitar 50.000 orang di dunia meninggal karena sistiserkosis, yang salah satu penyebarannya adalah melalui travelling (wisata) dan migrasi.
Salah satu faktor Bali menjadi wilayah dengan kasus sistiserkosis tertinggi di Indonesia, menurut Sudarmaja, adalah karena kegemaran masyarakat di sini untuk mengonsumsi daging babi.
Sudarmaja menjelaskan, masih banyak orang yang mengonsumsi daging mentah atau tidak diolah dengan baik (seperti direbus atau dimasak sampai matang), sehingga mereka akhirnya terkontaminasi telur-telur cacing pita.
Wilayah endemis atau yang paling banyak ditemukan kasus sistiserkosis adalah di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Sebab, masyarakat di sana masih jarang memiliki WC.
Ketika sudah ada WC pun, mereka masih terkendala oleh tidak adanya air.
Akibatnya, sebagian warga di sana memilih BAB (Buang Air Besar) di luar WC.
Kotoran dari BAB di luar WC itu tersebar, termasuk mencemari rerumputan, yang kemudian dimakan oleh hewan ternak seperti babi dan sapi.
Selain itu, masyarakat di Kubu juga terbiasa membuat lawar babi mentah.
Selain babi, sapi juga berpotensi membawa telur-telur cacing pita.
Namun khusus di Bali, perantara penularan lebih banyak lewat babi, karena adanya kebiasaan di Bali untuk lebih banyak membuat lawar babi.
"Padahal, daging dalam keadaan mentah masih tidak bagus dikonsumsi. Setidaknya daging harus direbus dulu sebelum benar-benar dimakan, sehingga berpotensi membawa bibit-bibit cacing pita," ujar Sudarmaja.
Cacing dapat bertahan hidup lama dalam tubuh manusia, karena berbentuk kista yang keseluruhan fisiknya terselubung.
Cacing pita menetap di usus, sementara kista-kista kecil di usus dapat terbawa oleh darah dan kemudian menyebar ke anggota tubuh seperti kulit, mata dan otak.
Apabila menyerang mata, itu akan menyebabkan pasien mengalami kebutaan dan apabila menyerang otak akan mengakibatkan kematian.
Penderita Jadi Kurus
Sudarmaja menyebutkan, apabila di dalam tubuh seseorang terdapat cacing pita, maka sari-sari makanan yang ia konsumsi akan sebagian diserap oleh cacing pita. Itu juga bisa membuat penderita sistiserkosis menjadi kurus.
Pengobatan sistiserkosis, diakui Sudarmaja, masih sangat susah sehingga obat sistiserkosis harus dibeli di luar negeri (seperti di Italia) karena di Indonesia belum ada-apa pada saat itu.
Keberadaan kista cacing diketahui dengan cara biopsi terlebih dahulu, dan apabila menyerang otak maka pasien tidak bisa ditolong lagi.
"Stroke saja susah diobati, apalagi sistiserkosis. Kalau hanya hidup di kulit tidak apa-apa," ujar Sudarmaja, sembari mengatakan sejauh ini dia belum ada pasien sistiserkosis di Bali yang sampai terserang otaknya dan kemudian berakibat kematian.
Selain sistiserkosis, simposium internasional juga membahas kasus-kasus perjamuran di kawasan Asia Pasifik serta infeksi virus bakteri, cacing (parasit) dan rabies.
Ketua panitia simposium, dr Made Swastika Adiguna Sp KK, menjelaskan topik tentang perjamuran itu dipilih karena penyakit jamur banyak terjadi di Indonesia dan juga di dunia.
Penyakit jamur berhubungan erat dengan lingkungan, dan jamur termasuk susah diobati apabila sudah menyerang secara sistemik.
Jamur tersebut dapat menjadi jenis jamur ganas (jamur candida) yang berkembang biak ke seluruh tubuh dan menimbulkan kematian.
"Semua jamur sifatnya berbahaya apabila sudah menyerang sistemik, kalau cuma di kulit tidak masalah. Namun yang awalnya hanya localized (menyerang kulit) juga bisa berkembang menjadi sistemik apabila penanganannya tidak tepat," ujar Swastika.
Virus dan jamur juga dapat menyerang seseorang ketika daya tahan (imun) tubuh lemah seperti pada penderita diabetes, HIV/AIDS , TBC, dan pola makan yang salah.
Sampai saat ini deteksi jamur agak susah dan biayanya mahal.