Menengok Sekolah di Pedalaman NTT: Siswa Kurang Gizi, Telat Baca hingga Tak Bisa Berbahasa Indonesia
Komunitas 1000 Guru mendatangi SD GMIT Boti, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) untuk mengajar anak-anak di kawasan paling pedalaman di NTT ini.
Penulis: Yulis Sulistyawan
TRIBUNNEWS.COM, NTT - "Aduh, sebagian anak-anak tidak bisa berbahasa Indonesia nih. Terpaksa pakai bahasa tubuh deh," begitulah keluh kesah sekaligus tantangan yang dihadapi Gagas (15) saat mengajar siswa kelas 1 dan 2 SD GMIT Boti, Timor Tengah Selatan akhir pekan lalu.
Beberapa kali teriakan Gagas nya agar Siswa menggambar sesuai arahannya, terpaksa harus diulang. Tak juga membuahkan hasil, Gagas pun langsung memberi contoh ke anak-anak agar mereka paham.
Meski demikian, Gagas tak pasrah. "Akhirnya sukses juga anak-anak mewarnai gambar-gambar ini," ujarnya dengan penuh kegembiraan.
Akhir pekan lalu, Gagas bersama belasan anggota komunitas 1000 Guru mendatangi SD GMIT Boti, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) untuk mengajar anak-anak di kawasan pedalaman ini.
Siswa SD GMIT Boti, Timor Tengah Selatan yang setiap hari memilih memakai sendal, bahkan masih banyak tak beralas kaki
Komunitas 1000 Guru sengaja memilih SD GMIT Boti menjadi lokasi mengajar, lantaran SD tersebut berada di kawasan yang terpelosok di NTT. Bahkan, pendiri 1000 Guru, Jemi Ngadiono menyebut, Boti adalah kawasan paling pedalaman dan terisolasi di NTT.
Untuk mencapai Boti butuh perjalanan sekitar 4 jam dari Kota Kupang.
Tiga jam pertama bisa ditempuh dengan mobil, dan satu jam berikutnya hanya bisa dijangkau dengan ojek yang melintasi jalan tanah berbatu membelah hutan dan menyusuri 0,5 km Sungai Putih yang lebarnya mencapai 100 meter.
Di perjalanan menuju Boti, masih sempat ditemui hewan liar seperti babi hutan.
Berada di perbukitan, untuk mencapai Boti juga harus menyusuri sungai putih yang memiliki lebar sekitar 100 meter. Sungai itu di musim kemarau seperti ini airnya hampir tak ada. Hanya aliran kecil air sisa-sisa yang mengalir.
Siswa SD GMIT Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) masih banyak memakai sendal dan sebagian tak memakai alas kaki
Tak ada jembatan untuk menyeberangi Sungai Putih yang membelah kawasan Boti. "Kalau hujan, terpaksa kami tidak bisa kemana-mana. Menunggu sungainya surut," ujar Kepala Sekolah SD GMIT Boti, Mikael Selan.
Guru kelas 1 SD GMIT Boti, Salmun Liungkas mengakui bahwa sebagian besar anak-anak kelas 1 dan 2 belum lancar berbahasa Indonesia.
"Anak-anak di sini setiap hari berbahasa daerah, Dawan. Jadi sebagian belum bisa berbahasa Indonesia," ujar Salmun Liungkas yang juga asli warga sekitar Boti.
Miskin
Di SD GMIT Boti, terdapat 153 siswa yang duduk di kelas 1 hingga 6. Sekolah tersebut didirikan sejak 1957 yang didirikan atas bantuan dari jamaah Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT).
Meski berada di kawasan pedalaman, gedung bangunan SD tersebut sudah permanen tembok dan beratap seng serta berlantai semen dan keramik. Setiap kelas sudah ada ruangan masing-masing. Begitu juga ruang untuk guru yang berjumlah sembilan orang.
Siswa SD GMIT Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) . Sekolah ini berada di pelosok NTT. Untuk menempuh SD Boti butuh waktu 4 jam dari Kota Kupang. 1 Jam diantaranya hanya bisa naik ojek melalui jalan tanah berbatu melintas hutan dan menyusuri sungai
Lantaran berada di kawasan pedalaman dan perbukitan, Boti belum dialiri listrik. Bahkan untuk kebutuhan air bersih pun, warga Boti terpaksa mengambil dari mata air yang berjarak lebih dari 2 kilometer.
Warga Boti hampir seluruhnya berprofesi sebagai petani jagung. Berada di kawasan yang kering dan jarang hujan, warga setempat hanya bisa menanam 1 kali jagung selama setahun. Sehingga kondisi perekonomian sebagian besar adalah miskin.
"Untuk biaya sekolah gratis. Kan ada dana BOS dari pemerintah," ujar Mikel.
Miskinnya warga tercermin dari penampilan fisik anak-anak di SD GMIT Boti.
Guru dari Komunitas 1000 Guru sedang mengajar Siswa SD GMIT Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Sekolah ini berada di kawasan pedalaman NTT. Jarak dari Kupang
"Lihat saja, anak-anak di sini kurang nutrisi. Rambutnya tipis, badannya kurus dan cenderung kecil. Belum lagi yang kekurangan vitamin sehingga ada yang terkena folio dan sebagainya," jelas Jemi Ngadiono yang sudah sejak 2008 sering mengunjungi SD GMIT Boti.
Jemi Ngadiono menambahkan, sebelum anak-anak SD GMIT Boti diberikan bantuan nutirisi, mereka juga perlu beradaptasi memakan makanan bergizi. "Ketika pertama kali mereka diberi makan telur dan bubur kacang hijau, anak-anak muntah. Mereka tak pernah makan makanan bergizi seperti itu," kisah Jemi Ngadiono.
Pemantau program Smart Center 1000 Guru di NTT,Adriani Ati yang hampir setiap hari mendatangi kawasan pedalaman untuk mengecek program Smart Center 1000 Guru menjelaskan, anak-anak di Boti dan sekitarnya sangat kekurangan nutrisi.
Mereka setiap hari hanya memakan bose atau nasi jagung. "Lebih sering tidak pakai lauk karena kondisi ekonomi orangtuanya yang pas-pasan," ujar Adriani Atty.
Smart Center di SD GMIT Boti yang didirikan 1000 Guru dan KFC. SD Boti berada di kawasan pedalaman NTT. Letaknya di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang harus ditempuh 4 jam dari Kota Kupang. 1 jam diantaranya hanya bisa naik ojek yang melintas jalan tanah berbatu di tengah hutan dan menyusuri sungai yang kering.
Tak Bisa Baca
Atty yang hampir setiap hari mendatangi 15 Smart Center yang didirikan 1000 Guru di pedalaman NTT mengatakan, ia masih kerap mendapati anak-anak kelas 3 dan 4 yang belum bisa membaca. Itu terjadi lantaran anak-anak kurang gizi sehingga kecerdasan sangat di bawah standar.
Lantaran kurangnya asupan protein dan gizi, kecerdasan anak-anak SD GMIT Boti pun juga di bawah standar. Makanya wajar, anak-anak kelas 1 dan 2 pun belum bisa berbahasa Indonesia. "Apalagi membaca dan berhitung," ujar Jemi Ngadiono.
Komunitas 1000 Guru dan KFC mendirikan 13 Smart Center di NTT guna membantu memberantas buta huruf di kawasan pelosok
Sejak tiga bulan lalu, 1000 Guru dan KFC menjadikan SD GMIT Boti sebagai Smart Center.
"Kami memberikan bantuan nutisi sekaligus mengirim guru-guru dari Komunitas 1000 Guru untuk berbagi ilmu mengajar anak-anak di sini," lanjut Jemi Ngadiono.
Setiap Senin-Kamis, anak-anak diberi nutrisi tambahan mulai dari bubur kacang hijau, susu, kue hingga minuman jus. "Jadi anak-anak rajin belajar dan kami berikan tambahan nutrisi agar kecerdasan mereka bertambah," ujar Jemi.
GM Marketing KFC Indonesia, GM Marketing KFC Indonesia Hendra Yuniarto mengatakan bahwa KFC melalui program CSR berkomitmen dalam memerangi buta aksara di Indonesia.
"Masih banyak anak-anak di Indonesia yang buta aksara. Kami bekerjasama dengan 1000 Guru berupaya memerangi buta aksara," jelas Hendra Yuniarto.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.