Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Tukang Parkir Rawat Anak-anak Penderita HIV/AIDS, Dicemooh Hingga Ditolak Warga

Saat ini, Puger bersama sebelas anak asuhnya tinggal di rumah kontrakan di Jalan Parangliris No 39 Laweyan, Solo.

Editor: Wahid Nurdin
zoom-in Kisah Tukang Parkir Rawat Anak-anak Penderita HIV/AIDS, Dicemooh Hingga Ditolak Warga
Kontributor Surakarta, M Wismabrata
Rumah Singgah Lentera di Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (1/12/2016). 

TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Pro dan kontra mengiringi keberadaan rumah singgah bagi anak-anak penderita HIV/AIDS di Solo.

Rumah singgah Lentera sudah beberapa kali berpindah-pindah lokasi karena sejumlah warga yang keberatan akan keberadaan mereka.

Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat para pengasuh Rumah Lentera untuk mendampingi dan menemani anak-anak penderita HIV/AIDS.

Pendiri rumah singgah Lentera, Puger Mulyono (50), mengakui, sejak tahun 2012, perjalanan rumah singgah Lentera penuh tantangan dan cobaan.

Empat tahun berjuang untuk mendampingi anak-anak yang "terbuang" oleh keluarga lantaran mengidap HIV/AIDS, membutuhkan kesabaran dan mental yang kuat.

Cemoohan hingga penolakan warga atas keberadaan rumah singgah bagi 15 ADHA (anak dengan HIV/AIDS) sudah menjadi hal biasa.

Bapak empat anak yang berprofesi sebagai tukang parkir tersebut tidak menyalahkan masyarakat, namun justru mengkritik pemerintah yang kurang menyosialisasikan cara penularan HIV/AIDS di masyarakat luas.

Berita Rekomendasi

"Bukan salah mereka (warga), wajar sebagai manusia merasa khawatir atau takut tertular. Hanya mereka kurang mengerti dan memahami saja bagaimana dan seperti apa seseorang bisa tertular HIV/AIDS," kata Puger, Kamis (1/12/2016).

Saat ini, Puger bersama sebelas anak asuhnya tinggal di rumah kontrakan di Jalan Parangliris No 39 Laweyan, Solo.

"Saat ini sebelas anak, yang paling kecil umur 2,5 tahun dan paling besar sudah sekolah SMP. Bulan Maret kemarin ada yang meninggal dunia pada umur 5 tahun. Hampir semuanya sudah ditinggal orangtuanya," kata Puger.

Puger mengaku memelihara anak dengan HIV/AIDS adalah panggilan hati.

Dia tidak tega melihat anak-anak tak berdosa "terbuang" dari keluarga karena penyakit yang tidak mereka kehendaki.

"Kalau ada anak yang sudah terstigma di keluarga mereka sendiri, kami tidak tega. Lalu kami menuruti kata hati, mendatangi satu per satu, dan diajak tinggal di lentera," kata Puger.

Setiap pagi, Puger juga disibukkan dengan memberi obat penambah kekebalan tubuh bagi setiap anak asuhnya.

Sebulan sekali, Puger membawa mereka ke rumah sakit untuk mendapatkan suntikan antibiotik.

"Untuk obat terapi antiretrovirals (arv) gratis, untuk rontgen paru-paru per anak 105.000, untuk cek ginjal dan hati per anak 60.000 dan untuk cek CD4 per anak 210.000 rupiah," jelas Puger.

Puger mengakui membutuhkan dana besar untuk mencukupi kebutuhan obat setiap harinya.

Pekerjaannya sebagai juru parkir tak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya dan anak asuhnya di Lentera.

Bantuan dari Dinas sosial, pemerintah kota dan provinsi serta para dermawan sangat membantu untuk mendampingi ADHA.

Kontributor Surakarta, M Wismabrata

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas