Kisah di Balik Dua Gamelan yang Ditabuh Selama 7 Hari Terakhir di Sekaten
Alunan gendhing Jawa terdengar merdu dari Pagongan Selatan Masjid Gedhe Yogyakarta Senin (6/12/2016) siang,
Penulis: Khaerur Reza
Editor: Sugiyarto
Laporan Reporter Tribun Jogja, Khaaerur Reza
TRIBUNNEWS.COM JOGJA - Alunan gendhing Jawa terdengar merdu dari Pagongan Selatan Masjid Gedhe Yogyakarta Senin (6/12/2016) siang, para abdi dalem keraton Yogyakarta dengan pakaian biru-biru nampak fasih memainkan langgam-langgamnya.
Gamelan yang dimainkan sendiri bukanlah gamelan sembarangan karena merupakan perangkat gamelan legendaris kreasi Sultan Agung yaitu Kanjeng Kyai Guntur Madu yang tercatat dibuat pada tahun 1566 saka atau 1643 M.
lantunan apik yang mampu membius masyarakat yang datang melihatnya tersebut kemudian berhenti saat adzan dhuhur berkumandang, sebagai bagian dari syiar Islam yang dijaga selama ratusan tahun maka kegiatan dihentikan selama ibadah wajib umat Islam tersebut dilaksanakan.
Selain di Pagongan Kidul di Pagongan Elor juga ada satu set gamelan legendaris lainnya yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo yang umurnya sedikit lebih muda.
"Kedua gamelan tersebut akan ditabuh terus-menerus selama sekitar seminggu di Pagongan Lor dan Kidul Masjid Gedhe Kauman, menandai peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW dan bentuk syiar Islam," jelas Penghageng II Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Krido Mardowo, KRT Waseso Winoto.
Kedua set gamelan yang sehari-hari tersimpan rapi di Keraton yogyakarta tersebut pada malam sebelumnya sudah melalui prosesi Miyos Gangsa yang juga diwarnai dengan Sebar Udhik-udhik yang dilakukan oleh rayi dalem dan putri dalem secara bersamaan di Bangsal Ponconiti Keraton Yogyakarta.
Mengeni kedua gamelan legendaris tersebut KRT Waseso Winoto mengatakan tidak bisa dipisahkan dari syiar islam di masa lampau.
Ia menambahkan antara alunan gamelan dengan syiar islam di bulan maulid terutama berkaitan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW memang sudah dipelihara dari zaman islam berkembang di jawa melalui Kerajaan Demak Bintoro, prosesnya pun sama yaitu dengan membunyikan gamelan sebagai pengundang masa selama jangka waktu tertentu.
"Sayangnya waktu Demak jatuh tradisi ini sempat terhenti karena gamelan yang asli dari Demak dibawa ke Cirebon dan sekarang ada di museum nasional maka terhenti sementara di jaman (Keraton) Pajang vakum karena ada perang," jelasnya.
Sejarah berjalan Kerajaan Mataram Islam memindahkan pusat kekuasannya di Kotagede namun kembali belum bisa menjalankan tradisi ini karwna di sana masih tahap babat alas.
Bertahun kemudian saat kondisi di Kotagede sudah mulai mapan, maka atas instruksi Sultan Agung maka dibuatlah sepasang gamelan yaitu Kanjeng Kyai Guntur Sari dan Kanjeng Kyai Guntur Madu.
Seiring adanya dua gamelan tersebut maka tradisi sekaten kembali digaungkan dan tidak oernah outus meski pusat kerajaan dipindah mulai dari Pleret Kartasura hingga Surakarta hingga akhirnya terjadilah Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi Surakarta dan Ngayogyakarta.
Perjanjian Giyanti yang krusial itu juga akhirnya menyepakati dua set gamelan kreasi Sultan Agung tersebut harus dibagi antara dua keraton.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.