Kisah di Balik Dua Gamelan yang Ditabuh Selama 7 Hari Terakhir di Sekaten
Alunan gendhing Jawa terdengar merdu dari Pagongan Selatan Masjid Gedhe Yogyakarta Senin (6/12/2016) siang,
Penulis: Khaerur Reza
Editor: Sugiyarto
"Karena Perjanjian Giyanti lalu (gamelan) dibagi dua, seng sepuh Guntur Sari kangge solo seng enom Guntur Madu kangge yojo (yang tua Guntur Sari untuk Solo, yang muda Guntur Madu untuk Yogyakarta)," jelasnya.
Namun karena kalau hanya ada satu tidak lengkap maka masing-masing keraton kemudian mengcopi rancangan yang sama dimana Susuhan Pakubuwono IV dari Surakarta membuat tiruan dari Kanjeng Kyai Guntur Madu, begitu pula Sultan Hamengkubuwono membuat tiruan dari Guntur Sari.
Namun karena di keraton Yogyakarta sudah ada set gamelan yang dinamai Kanjeng Kyai Guntur Sari maka set gamelan baru replika dari Kanjeng Kyai Guntur Sari kemudian diberi nama Kanjeng Kyai Nogo Wilogo.
"Di sini dapat Guntur Madu, supaya jadi dua maka mengcopi Guntur Sari tapi kemudian disebut Nogo Wilogo karena sudah punya gamelan Guntur Sari," jelasnya.
Hingga kini kedua set gamelan tersebut diakuinya masih terawat dengan baik dan selalu dihadirkan di Pagongan Masjid Gede Kauman Yogyakarta dalam 7 hari terakhir puncak perayaan sekaten, keduanya nantinya akan ditabuh bergantian dengan nada lara pelog.
Dalam penempatannya Kanjeng Kyai Guntur Madu yang usianya lebih tua diletakkan di Pagongan Kidul atau Selatan sementara Kanjeng Kyai Nogowilogo yang usianya lebih muda diletakkan di Pagongan Elor atau Utara.
"Seng kidul utowo tengene ngarso dalem ingkang sepuh Guntur Madu, seng elor Nogo Wilogo, meniko mpun paugeran prantan (yang selatan atau sebelah kanannya raja adalah yang tua Guntur Madu, yang utara Nogo Wilogo, itu sudah peraturan ketetapan dari keraton)," tambahnya.
Pemain yang memainkan kedua gamelan tersebut pun tidak sembarangan karena harus merupakan abdi dalem yang terlatih dalam memainkan gamelan.
Di zaman dulu mereka masih harus memenuhi syarat lain seperti harus berpuasa selama 40 hari agar jiwanya bersih, namun saat ini tradisi tersebut sudah tidak berjalan walaupun tetap saja ada syarat-syarat khusu untuk menabuh gamelan tersebut.
"Seng penting resik manahe resik lan suci awake, nek siyam saniki mpun mboten wajib (yang penting bersih pikirannya bersih dan suci badannya, kalau puasa sekarang sudah tidak diwajibkan lagi) ," urainya.
Dan setelah tujuh hari bertugas, nantinya gamelan tersebut akan kembali dibawa pulang ke keraton melalui prosesi Kundur Gongso guna disimpan kembali dan dikeluarkan di acara sekaten tahun selanjutnya. (Khr)