Kekosongan Pengurus KPAID, Pemprov Kalbar Dinilai Abai
Saat ini instansi terkait masih belum sepenuh hati berbuat untuk anak-anak di Kalbar.
Penulis: Tito Ramadhani
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Tito Ramadhani
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Ketua KPAID Kalbar (selanjutnya tahun 2017 disebut Demisioner Ketua), Achmad Husainie menuturkan, kekosongan pengurus ini sebenarnya tidak akan terjadi jika pada tahun 2015 silam, BP3AKB telah membentuk panitia seleksi anggota KPPAD (KPAID).
"Yang kami ketahui, kondisi ini terbentur karena tidak ada anggaran. Menurut mereka saat itu, anggaran belum ada, sehingga dialokasikan pada tahun 2017," ungkapnya, Sabtu (31/12).
Berdasarkan Undang-undang (UU) No 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, negara atau pemerintah bertanggungjawab atas perlindungan anak.
"Dalam hal ini, bisa diterjemahkan Negara itu siapa, jika turunan dari Pemerintah Pusat, berartikan Pemerintah Provinsi, dari situ ada institusi nanti yang khusus di bidang itu yakni BP3AKB. Saya tidak tahu apakah secara konkretnya berlaku atau tidak hal ini, karena lembaga independen yang disepakati dibentuk adalah KPAID atau nantinya disebut KPPAD, ini untuk pengurus selanjutnya belum terbentuk," urainya.
Ia juga menyayangkan sikap abai yang ditampakkan Pemerintah Provinsi Kalbar dalam membentuk kepengurusan KPPAD Kalbar.
Hal ini menurutnya, pembentukan KPPAD tersebut, telah didasari oleh Perda No 4 tahun 2015.
"Selambat-lambatnya setelah satu tahun Perda ini diterbitkan, harus dibentuk. Dimulai dengan sekretariat, ini saja belum ada. Konsekuensinya, siapa yang menanggung akibat dari belum terbentuknya KPPAD. Karena produk hukum (Perda) ini kan dibuat oleh eksekutif dan legislatif. Ini harus direalisasikan tapi terlihat ini diabaikan. Abaikan itu ada dua, bisa disengaja atau bisa pula tidak disengaja," ujarnya.
Padahal, menurutnya perlindungan anak saat ini telah menjadi perhatian nasional.
Perhatian luar biasa telah pula ditunjukkan oleh pemerintah pusat, baik dari Presiden RI hingga para menteri terkait.
"Kami sudah menyurati Pemerintah Provinsi, kalau DPRD Kalbar belum ada. Seharusnya ada yang merespon, kami sebut BP3AKB harusnya merespon. Paling tidak, apa yang harus dilakukan," jelas Achmad.
Seberapa penting lembaga independen ini, Achmad menjelaskan bahwa secara geografis, Kalbar berbatasan langsung dengan negara jiran Malaysia, dan tak jauh dengan Brunei Darussalam.
"Di dalam perlindungan anak, bukan hanya kekerasan fisik dan psikis, atau kejahatan seksual saja. Ada yang namanya trafficking (perdagangan orang), dan kategori anak adalah usia 18 tahun ke bawah," terangnya.
Kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab, jika tidak ada lembaga atau komisi yang menangani perlindungan anak secara independen.
"Kalau ditanya seberapa penting, ini penting. Kemudian, kondisi saat ini sudah cukup parah di Kalbar, karena kasus-kasus ini tidak mencuat secara keseluruhan. Kalau dikomparasi dengan lembaga lain, bisa saja ada perbedaan data," ujarnya.
Masih banyak kekerasan dan kejahatan terhadap anak yang tidak terungkap atau dilaporkan.
Satu di antara cara adalah dengan sosialisasi komprehensif seluruh pihak dalam memberikan perlindungan terhadap anak.
"Kedepan tidak boleh lagi dibiarkan, tidak boleh ada pembiaran. Kami setiap tahun melaporkan ke Pemerintah Provinsi, update data kami setiap bulan," tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua KPAID Kalbar (selanjutnya tahun 2017 disebut Demisioner Wakil Ketua), Hasanah, yang menyesalkan terjadinya kekosongan pengurus KPAID Kalbar.
Ia menilai, saat ini instansi terkait masih belum sepenuh hati berbuat untuk anak-anak di Kalbar.
"Kami menganggap, Pemerintah Provinsi kita ini mengalami kemunduran, karena di daerah lain sedang gencar-gencarnya membentuk KPPAD, lalu kita pula yang mau membubarkan," katanya.