Dua Tersangka Penghinaan Lambang Negara Dibesuk Politisi PDIP, Seperti Ini Kondisinya
Niat tidak ada, tapi ada penahanan. Krama Bali Penolak Reklamasi Teluk Benoa akan melawan hal ini," kata Dharmantra.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus PDIP Nyoman Dhamantra menjenguk dua aktivis ForBALI, I Gusti Dharma Wijaya alias Gung Omledh dan I Made Joniantara alias De John. Keduanya ditahan pihak Mapolda Bali karena sangkaan penghinaan lambang negara.
Namun, Anggota Komisi VI DPR itu tidak dapat masuk ke ruangan pembesuk, Minggu (12/2/2017). Dhamantra yang didampingi sejumlah kuasa hukum hanya berbicara dari luar jeruji besi.
Dalam keterangan pers, Dhamantra menanyakan seputar kabar kedua aktivis tersebut. Keduanya menyatakan kondisinya baik.
Dhamantra menyatakan kunjungan ini sebagai dukungan moril karena keduanya merupakan krama (warga) Bali yang merupakan pejuang untuk tanah kelahirannya.
Dia menambahkan, bentuk dukungan ini sebagai sikap dirinya yang tetap menolak adanya Reklamasi Teluk Benoa.
"Saya secara pribadi dan semua warga Bali khususnya, krama penolak Reklamasi Teluk Benoa, akan melawan kesewenang-wenangan ini. Mereka (Gung Omledh dan De John) tidak pernah berniat melakukan penghinaan. Niat tidak ada, tapi ada penahanan. Krama Bali Penolak Reklamasi Teluk Benoa akan melawan hal ini," kata Dharmantra.
Ia mengatakan polisi harus berhati-hati dalam mengadili perjuangan rakyat. Karena kesalahan kebijakan, yang dilakukan polisi maka akan berdampak adanya dugaan kriminalisasi warga.
Karena, sambung Dharmantra, penegakan hukum dan kriminalisasi itu bedanya sangat tipis. Dimana keadilan, menjadi pembatas di antara keduanya.
Untuk membuktikan keadilan itu sendiri, tergantung dari kehadiran objektifitas aparat melihat persoalan ini.
"Itu bisa dibuktikan bila aparat bisa menujukkan adanya niat mereka untuk menistakan bendera merah putih. Itu semua, jelas termaktub dalam UU No 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan lambang negara. Subtansinya ialah adanya niat penistaan itu sendiri. Jika tidak bisa membuktikan niat, maka polisi telah melakukan kriminalisasi," kata Dharmantra.
Ia menuturkan persoalan niat itu harus dipandang menyeluruh. Pertama ketika kedua aktivis itu memang melakukan penistaan, pasti pengibaran bendera ForBali di atas bendera Merah Putih.
Kedua, jika mereka melakukan penurunan sang saka Merah-Putih dan tidak menaikkan lagi. Namun yang terjadi bendera itu tidak diturunkan oleh mereka berdua.
Karena rasa nasionalisme mereka bendera itu dinaikkan lagi, dan ada bendera ForBALI di tiang yang sama.
"Yang menjadi pembuktian itu harusnya niatnya. Kalau tidak bisa, sifatnya mereka hanya lalai. Toh kalau seandainya dalam aksi di tempat itu ada tiang bendera lain, mungkin saja mereka tidak akan mengibarkan bendera ForBali di bawah bendera Merah Putih," kata dia.
"Yang perlu menjadi catatan, mereka tidak pernah menurunkan bendera Merah-Putih. Mereka menaikkan lagi bendera Merah Putih itu, karena nasionalisme mereka kepada Indonesia," lanjut Dharmantra.