Mantan Kepala SMPN 24 Divonis 3,5 Tahun Penjara
Helen harus membayar kerugian negara sebesar Rp 678 juta, jika tidak mampu hartanya dilelang dan tidak cukup diganti hukuman 1,6 tahun penjara
Penulis: Wakos Reza Gautama
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Lampung Wakos Gautama
TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Tanjungkarang menyatakan mantan Kepala SMPN 24 Bandar Lampung Helendrasari terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi penyelewenangan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Majelis hakim yang diketuai Virza Noviansyah ini menilai Helendrasari terbukti melakukan korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU RI No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
“Menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan dikurangi selama dalam masa penahanan kota,” ujar Virza, Senin (27/2/2017). Majelis hakim juga menghukum Helendrasari untuk membayar pidana denda sebesar Rp 50 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Tidak hanya itu, majelis hakim memerintahkan Helendrasari membayar kerugian negara sebesar Rp 748 juta dikurangi uang titipan yang sudah diberikan Helendrasari ke penuntut umum sebesar Rp 70 juta.
Helen masih diharuskan membayar kerugian negara sebesar Rp 678 juta.
Apabila setelah satu bulan putusan berkekuatan hukum tetap, Helen tidak mampu membayar kerugian negara, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk membayar kekurangan kerugian negara.
“Jika harta benda tersebut dilelang dan masih tidak mencukupi untuk membayar kerugian negara, maka diganti dengan hukuman pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan,” ujar Virza. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan penuntut umum.
Pada tuntutannya, penuntut umum menuntut Helendrasari dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan enam bulan.
Kasus dugaan korupsi penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah tersebut terjadi sejak triwulan I tahun 2013 hingga triwulan III tahun 2015.
Perbuatan terdakwa dimulai saat SMPN 24 mendapatkan dana APBN untuk kegiatan BOS.
Dana tersebut merupakan bantuan siswa miskin (BSM) untuk siswa bina lingkungan (biling) yang bersumber dari keuangan Pemkot Bandar Lampung dan dana komite sekolah yang dihimpun dari orangtua siswa.
Sesuai dengan petunjuk teknik anggaran, ditetapkan dana BOS untuk siswa tahun anggaran 2013 dan 2014 sebesar Rp 710 ribu/siswa/tahun dan besaran dana BOS yang diterima siswa tahun 2015 sebesar Rp 1 juta.
Dengan demikian, SMPN 24 telah menerima dana BOS sebesar Rp1,8 miliar, dana BSM sebesar Rp 687 juta, dan dana komite sumbangan dari siswa sebesar Rp549 juta. Sejak triwulan I tahun 2013 sampai triwulan III tahun 2015, total dana sebesar Rp3 miliar lebih.
Pada kegiatannya, dana BOS Rp1,8 miliar digunakan untuk biaya kegiatan belajar mengajar (KBM) Bahasa Inggris dan pembelajaran teknologi informasi komputer, pengadaan naskah ujian melalui koperasi, pengeluaran lain-lain yang dibayarkan Eti Kurniasih, dan pengeluaran lainnya yang tidak memiliki keterangannya.
Kegiatan tersebut tidak sesuai dengan realisasinya, karena terjadinya mark up biaya sewa laboratorium komputer dan bahasa yang seharusnya Rp10 ribu menjadi Rp15 ribu.
Selain itu, biaya penyewaan itu pun tidak dibayarkan kepada penyedia jasa laboratorium dan biaya KBM tidak sesuai dengan faktanya.
Dalam laporan kegiatannya ke Dinas Pendidikan telah mengeluarkan biaya Rp625 juta, sedangkan realisasinya hanya senilai Rp464 juta.
Sementara untuk biaya pengadaan naskah ujian melalui koperasi dilaporkan ke dinas sebesar Rp300 juta padahal hanya Rp136 juta, dan pembayaran jasa pembelian barang sebesar Rp533 juta.