Kisah Haru 13 Penambang Emas yang 26 Jam Tertimbun Longsoran dan Berhasil Lolos
"Kode itu bisa berarti di atas sedang hujan deras. Kami harus segera naik. Tapi kemarin, kodenya sangat cepat."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, MINAHASA UTARA - Seperti biasanya, Karno (50), Kamis (13/4/2017) pagi kemarin bersiap bekerja. Dia menjadi pekerja tambang emas di Desa Tatelu, Kecamatan Dimembe, Kabupaten Minahasa Utara.
Peralatan yang dibawanya berupa betel, martil dan linggis. Tak lupa head lamp disematkan di kepalanya.
Pagi itu, sekitar pukul 08.00 Wita, Karno asal Jawa Barat ini bersama 12 rekannya masuk ke dalam lubang galian tambang. Karno dan sejumlah petambang lainnya bekerja di sebuah usaha tambang di Tatelu.
Dibandingkan dengan usaha sejenis lainnya di lokasi itu, tempat Karno bekerja terhitung besar. Di lahan yang dikapling majikan mereka, berbagai mesin pengolah material galian tersedia.
Penambang seperti Karno bertugas untuk menggali material batu dan tanah dari kedalaman. Mereka akan mencari batu rep, jenis batu yang mengandung emas. Rep, dulunya masih mudah diperoleh di permukaan, tapi seiring waktu rep hanya bisa ditemukan pada kedalaman hingga ratusan meter.
Pagi itu, Karno dan rekannya memasuki sebuah lubang berukuran tak lebih dari 1,5 x 1,5 meter. Ukuran itu nyaris hanya bisa menampung dua pekerja saling berhimpitan untuk sekali turun ke bawah.
Mereka menggunakan lift sederhana yang ditarik dengan tali baja dengan sistem katrol mesin. Lubang masuk vertikal itu berkedalaman 42 meter.
Lubang vertikal itu disebut pantongan. Butuh waktu yang sangat lama untuk membuat sebuah pantongan yang digali secara manual tahap demi tahap. Untuk menghindari dinding pantongan ambruk, dipasanglah konstruksi kayu dan papan.
Setelah melewati pantongan pertama, Karno menuju ke lubang horizontal yang disebut majuan yang panjangnya kira-kira 4 meter. Dari majuan, mereka harus merayap menuju pantongan kedua.
"Pantongan kedua itu sekitar 40 meter dalamnya, lalu dapat majuan lagi. Kami bekerja di lubang majuan kedua untuk mencari rep," tutur Karno saat ditemui usai dievakuasi pada Jumat (14/4/2017) siang.
Bersama ke 12 penambang lainnya, mereka memecah batu rep dengan peralatan manual.
Pecahan batu itu lalu diisi di dalam karung kecil, untuk diangkut menggunakan lift katrol ke permukaan. Panjangnya majuan dan pantongan tergantung kondisi rep.
"Saat kami berada di dalam, sumber cahaya hanya datang dari senter kepala, dan ada satu bola lampu listrik di atas pantongan," kata Karno.
Sebelum istirahat makan siang, tiba-tiba bola lampu listrik memberi kode, mati menyala. Bagi para penambang yang ada di dalam pantongan, kode itu memberi isyarat untuk segera naik ke atas.
"Kode itu bisa berarti di atas sedang hujan deras. Kami harus segera naik. Tapi kemarin, kodenya sangat cepat. Kami jadi khawatir dan segera cepat-cepat menuju pantongan pertama," kisah Karno.
Ketika mencapai majuan pertama, mereka panik. Ternyata pantongan masuk telah tertutup oleh longsoran.
Ada dinding pantongan yang ambruk. Mereka tak bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu bantuan dari atas.
Sekitar pukul 13.00 Wita, 13 penambang itu terjebak di dalam lubang.
Muksin, salah satu penambang yang membantu proses penyelamatan menuturkan, dia dan rekan-rekan lainnya mulai curiga saat Karno dan kawan-kawan tidak muncul ke permukaan ketika waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 Wita.
"Kami lalu mengecek kebawah. Ternyata bagian bawah pantongan telah tertutup. Dindingnya ambruk. Kami naik lalu melapor meminta bantuan," kta Muksin.
Upaya penyelamatan pun mulai dilakukan sejak mereka memastikan Karno dan rekannya terjebak reruntuhan dinding pantongan.
Berbagai pihak, termasuk Basarnas Manado, anggota TNI, polisi, dan para petambang lainnya berjibaku menyelamatkan para korban.
"Setelah terjebak, bola lampu listrik mati. Kami hanya mengandalkan senter kepala yang baterainya mulai habis. Suasana mulai gelap dan beberapa di antara kami panik," ujar Karno.
Beruntung pipa penyalur udara untuk pernafasan yang disambungkan ke blower di permukaan tidak ikut terputus. Lewat pipa itulah para korban mendapatkan sumber pernafasan. Walau demikian, ketiadaan sirkulasi udara membuat mereka kesulitan bernafas.
"Teman-teman di atas, mencoba memberikan kami makanan dan minuman dengan menjatuhkannya lewat pipa udara itu. Mereka juga mencoba berteriak lewat pipa dan kami membalasnya," kata Karno.
Regu penyelamat sempat kehilangan asa kala saat tahu, sebuah batu berukuran besar menutup di bawah pantongan. Batu yang ambruk dari dinding pantongan itu sulit disingkirkan dengan kondisi ruangan yang sangat sempit itu.
Menjelang tengah malam, komunikasi dari regu penyelamat dibawah pantongan sudah bisa dilakukan dengan para korban secara langsung.
Optimistis muncul saat mereka bisa menyentuh tangan para korban. Dipastikan semuanya masih hidup.
Berbagai cara pun dicari agar batu besar itu bisa disingkirkan. Memecah batu dengan cara memalu dihindari, karena dikhawatirkan bisa memicu reruntuhan lainnya. Sementara waktu terus berlalu, kegelisahan dan frustasi mulai dirasakan para korban.
"Ada di antara kami yang sudah sangat ketakutan dan frustasi. Padahal kami tidak bisa terlalu banyak bergerak dan berteriak. Khawatir dinding lainnya akan runtuh," sebut Karno.
Pagi menjelang, upaya penyelamatan terus diupayakan. Hingga sebuah cara ditemukan untuk memberikan ruang diantara batu dengan dinding pantongan. Batu pun diikat dengan tali tambang lalu ditarik menempel ke dinding.
Ruang sempit yang tercipta, digunakan oleh para penyelamat untuk membuat lubang alternatif. Tindakan hati-hati dilakukan, agar tidak terjadi longsoran susulan.
Sekitar pukul 09.00 Wita, lubang alternatif menampakan hasil. Ukurannya pas untuk dilewati satu badan korban secara vertikal. Tindakan evakuasi ke permukaan pun dimulai.
Pukul 09.25 Wita, Ali,salah satu korban bisa dievakuasi pertama kalinya. Evakuasi berlangsung dalam suasana haru.
Setiap kali ada korban yang diangkut ke permukaan, disambut penuh keharuan oleh sesama rekan mereka, hingga Asep, korban terakhir yang diangkut muncul ke permukaan pada pukul 10.03 Wita.
Setelah berhasil dievakuasi, ke 13 korban langsung ditangani secara medis. Beberapa di antaranya terlihat sangat lemah dan trauma. Tangisan haru pun tak bisa dihindari.
Petugas penyelamat kemudian membawa korban yang lemah ke rumah sakit untuk mendapat tindakan medis lebih lanjut.
Karno menyiratkan, apa yang menjadi pilihan hidupnya sekarang merupakan jalan keluar di antara kesulitan mencari peluang kerja.
"Saya tahu ini berisiko, tapi saya harus bekerja. Di lokasi ini saya sudah enam bulan, sebelumnya di lokasi lain. Sudah dua tahun saya di Tatelu bekerja sebagai penambang," ucap Karno.
Tim penyelamat yang terdiri dari berbagai unsur telah mengemas peralatan. Mereka pulang dengan rasa syukur karena semua korban bisa selamat. Tetapi apa yang menimpa Karno dan rekannya, menambah daftar musibah petambang terjebak di lubang.
Sebelumnya, dua penambang Arie Ratumbanua (31) dan Bryan Telew (21) tewas tertimbun tak bisa diselamatkan pada 2013 lalu.
Penulis: Ronny Adolof Buol