Cerita dari Puncak Lolomatua: Murid Sekolah Sedikit yang Bersepatu
Awal menginjakkan kaki di dalam kelas sebuah sekolah dasar di Puncak Lolomatua, Indri Rosidah begitu emosional, air matanya pecah.
Penulis: Jefri Susetio
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Medan, Jefri Susetio
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN – Awal menginjakkan kaki di dalam kelas sebuah sekolah dasar di Puncak Lolomatua, Indri Rosidah begitu emosional, air matanya pecah.
Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia ini tak menyangka bangunan sekolah serba kekurangan. Puncak Lolomatua merupakan pelosok, dataran tertinggi di Kabupaten Nias Selatan, tepatnya berada di Kecamatan Ulunoyo.
“Awal tiba di sini sangat memperihatinkan. Saya tidak bisa menahan air mata. Saya sedih melihat keadaan sekolah dan fasilitas di sekolah,” Indri membagi kisahnya kepada Tribun Medan, Selasa (2/5/2017).
Baca: Keharuan Guru Rosidah Melihat Dua Murid Gendong Adiknya di Kelas
Peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) ini menemukan banyak di antara murid SD Negeri Puncak Lomatua tidak menggunakan seragam dengan rapi, apalagi bagus.
Kesedihan mojang Bandung ini terobati tak sedikit siswanya bersemangat belajar, meski harus menempuh jalan berbatu berkilometer dari rumahnya. Di antaranya bisa dihitung yang bersepatu.
Dalam pikirannya Indri merasa masih di kota ketika mengingatkan murid-murid untuk menggunakan sepatu. Tapi lekas tersadar, ia mengajar di Puncak Lolomatua.
“Melihat kondisi jalan menuju ke sekolah yang berbatuan jadi saya maklum. Daripada mereka terjatuh karena jalanan yang licin berbantuan mending tak gunakan sepatu,” kata Indri.
Selama delapan bulan mengajar Indri melihat muridnya aktif dan berani kotor. Saat bermain, para murid berani berguling-guling di tanam.
“Saya tinggal empat bulan lagi di sini, Agustus 2017 sudah kembali ke Bandung. Jarak dari kota ke sekolah memang jauh. Dari Telukdalam, ibu kota Nias Selatan, menuju sekolah bisa mencapai tujuh jam bila sedang musim hujan,” cerita dia.
Dahulu setiba di Kantor Bupati Nias Selatan, Indri langsung dipertemukan dengan kepala sekolah. Dari sana ia menempuh perjalanan sekitar dua jam ke jalan utama beraspal lalu masuk ke jalan berbatuan.
Dari jalan berbatuan menuju lokasi sekolah jaraknya mencapai 12 kilomater. Di musim hujan, kendaraan tidak dapat melintas sehingga siapa pun harus berjalan kaki lima jam lamanya.
"Di musim kemarau, kendaraan baru bisa melintas,” ungkap Indri.