News Analysis dari Psikolog Klinis: Gay dan Lesbian Bukan Gangguan Jiwa
Ada orang yang memutuskan berhubungan dengan sesama jenis. Itu normal, selama mereka nyaman dengan orientasi mereka.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Artikel ini merupakan News Analysis dari berita-berita sebelumnya:
Baca: Komunitas Gay Pernah Adakan Gathering di Balikpapan: Sejak SMP Sadar Suka Sesama Jenis
Baca: Blak-blakan Seorang Pria Gay: Sex Party Bayar Rp 5 Juta
Baca: Polresta Samarinda Pantau Aktivitas LGBT: Antisipasi Agar Tidak Terjadi Seperti di Jakarta
News Analysis dari Ayunda Ramadhani
Psikolog Klinis, Klinik Famro Samarinda
GAY adalah sebutan pria yang memiliki ketertarikan emosi dan hubungan seksual terhadap pria lain.
Kondisi seperti ini kerap disebut homosekseual atau memiliki ketertarikan fisik dan emosional dengan individu berjenis kelamin sama.
Orientasi seksual tidak bisa diubah. Orientasi seksual itu pilihan.
Ada orang yang memutuskan berhubungan dengan sesama jenis. Itu normal, selama mereka nyaman dengan orientasi mereka.
Pilihan menentukan orientasi seksual ada di tangan orang itu sendiri.
Seorang pria tidak bisa tiba-tiba mengenali dirinya sebagai gay. Perlu proses dan waktu untuk menyadari dirinya seorang gay.
Beberapa faktor yang mendorong pria menjadi gay, antara lain sakit hati ditinggal perempuan, pelecehan seksual waktu kecil/pubertas, proses belajar dari lingkungan sekitar hingga trauma karena membenci sosok orangtua sebagai panutan keluarga.
Hal ini mendorongnya lebih menyukai perilaku perempuan dan lainnya.
Proses seorang menjatuhkan pilihan orientasi seksualnya menjadi gay selama pria tersebut merasa nyaman sebenarnya bukanlah sebuah masalah.
Masalah baru akan muncul ketika pria bersangkutan mengalami kecemasan, depresi membahayakan psikologi dan kesehatan dan jiwa karena belum menerima keadaan atau tekanan norma sosial dari masyarakat.
Kondisi ini muncul, karena masyarakat masih banyak menganut norma heternonormatif, meyakini gender hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Mereka yang dianggap di luar dari gender tersebut dianggap penyimpangan bahkan dicap gangguan mental.
Secara umum gay sendiri masuk dalam kategori LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Asosiasi Pskiatris Amerika pada 1973 sudah tidak lagi memasukkan gay dan lesbian sebagai sebuah penyakit gangguan jiwa.
Diagnostic Manual of Mental Disorder (DSM) III 1973 dan DSM IV dan V juga telah mengeluarkan homoseksual dari penyakit gangguan jiwa.
Di Indonesia dalam buku Pedoman dan Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1983 (PPDGJ II) dan (PPDGJ III) 1993 pada poin F66 menyebutkan orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual dan biseksual) bukan gangguan kejiwaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, individu gay sebenarnya lebih bersahabat, mudah bergaul, digemari banyak perempuan karena mampu menjaga fisik dan menjadi sahabat terbaik di kelompok.
Selain itu, dalam kondisi normal, gay lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan dengan tingkat emosi yang stabil.
Ada berbagai perilaku yang ditunjukan pria ke sesama gay, di antaranya maskulin dan feminim.
Pria gay yang menunjukan sifat maskulin biasanya akan mengambil posisi dominan dalam hubungan fisik dan emosional, sedangkan pasangan gay dengan sifat feminim lebih banyak menunjukan sikap lebih mengalah pada pasangan/partnernya.
Kurang lebih sama dengan pasangan heteroseksual (penyuka lain jenis kelamin) beberapa pasangan gay juga ada memilih untuk menjalin relasi dengan pasangan/partner sesama jenis dalam kurun waktu tertentu bahkan berlangsung lama.
Namun ada juga yang pasangan yang memberikan kebebasan pada partnernya untuk menjalin relasi dengan pasangan lain.
Prilaku bebas dalam artian boleh bergonta-ganti pasangan inilah yang berbahaya, karena rawan penularan penyakit seperti HIV-AIDS atau penyakit menular lainnya ke orang lain.
Untuk menjaga agar hubungan ini lebih aman dari ancaman penyakit menular yang berbahaya.
Setiap pasangan sebaiknya harus memikirkan berbagai konsekwensi kesehatan yang timbul akibat bergonta-ganti pasangan.
Jadi, tidak hanya memikirkan persoalan seksual saja dalam membangun relasi.
Psikolog hanya membantu mencarikan solusi adaptatif, menjelaskan konsekuensi di kehidupan norma masyarakat saat ini.
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi pria gay adalah proses pengungkapan orientasi seksualnya pada keluarga atau publik, yang terkadang bertentangan dengan norma masyarakat heteroseksual sekarang.
Sebagai sebuah pilihan, pria tersebut dapat memilih kembali ke orientasi heteroseksual dengan berbagai terapi dan konseling. TRIBUN KALTIM