Kolaborasi Iklim dan Bentang Alam Pengaruhi Karakteristik Pemukiman Penduduk di Kalbar
Bentuk lahan Fluvial di Provinsi Kalimantan Barat, cukup mempengaruhi kehidupan masyarakat dan pola kejadian bencana banjir
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Tito Ramadhani
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Wilayah Kalimantan Barat merupakan wilayah ekuatorial yang memiliki pola curah hujan berbeda.
Forecaster PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun Klimatologi Mempawah, Firsta Zukhrufiana Setiawati mengungkapkan, terdapat dua pola curah hujan di Kalimantan Barat, yaitu pola ekuatorial dan pola monsunal.
Pola hujan ekuatorial yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan.
Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks.
Sedangkan pola hujan monsunal adalah yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau)," ungkapnya, Rabu (5/7/2017).
Lanjut Firsta, pada kenyataannya curah hujan pada bulan-bulan puncak hujan dapat mencapai 450-500 mm per bulan.
Setidaknya dengan asumsi 450 mm per bulan dapat terjadi 9 kali hujan lebat atau bahkan 4 kali hujan sangat lebat.
Hujan lebat adalah curah hujan lebih dari 50 mm per hari dan hujan sangat lebat lebih dari 100 mm per hari.
Kejadian hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat umumnya mengakibatkan meningkatnya ketinggian air dan peningkatan debit air sungai di aliran Sungai Kapuas, seperti yang kerap terjadi di wilayah Singkawang, Sanggau, Bengkayang, Landak, Mempawah.
"Wilayah itu kerap terkena luapan air sungai karena masyarakat Kalimantan Barat juga memiliki kebiasaan bermukim pada drainage area, atau daerah bantaran sungai yang sudah tentu menyebabkan pemukiman menjadi daerah yang termasuk dalam area terkena banjir," jelasnya.
Karakteristik iklim di wilayah Kalimantan Barat tersebut terkoneksi secara tidak langsung terhadap bentuk lahan Fluvial (dataran aluvial, sungai, rawa belakang, dataran banjir, tanggul alam, lakustrin, ledok fluvial, gosong lekung dalam, kipas aluvial, cressave-splaye, delta, igir fluvial).
Bentuk lahan ini berkaitan erat dengan daerah sedimentasi yang biasanya terdapat pada lembah sungai dan dataran aluvial.
"Proses sedimentasi ini terjadi akibat proses air mengalir baik yang memusat seperti yang terjadi pada sungai ataupun overlandflow (aliran bebas). Air mengalir terjadi serangkaian proses yaitu erosi, transportasi dan sedimentasi (three phases of a single activity)," paparnya.
Erosi merupakan pemindahan material dasar dan tebing sungai. Kemudian transportasi dapat didefinisikan sebagai gerakan material yang tererosi secara traction, rolling, suspended, sliding dan dissolved.
Selanjutnya adalah sedimentasi, yang dapat dijelaskan sebagai pengumpulan material sungai yang terbawa pada datar sungai atau tubuh perairan yang terkumpul di lokasi airan sungai terhenti.
Bentuk lahan Fluvial di Provinsi Kalimantan Barat, cukup mempengaruhi kehidupan masyarakat dan pola kejadian bencana banjir.
"Masyarakat Kalimantan Barat banyak membangun pemukiman di pinggiran sungai atau drainage area, kondisi ini tak dapat dielakkan karena keterkaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup," urainya.
Kondisi ini dapat dipahami karena pola kehidupan masyarakat Kalimantan Barat yang mengandalkan sungai sebagai sumber pemenuhan kebutuhan rumah tangga, baik untuk kegiatan rumah tangga seperti; mandi dan mencuci, serta digunakan sebagai sumber mata pencaharian yaitu perikanan.
"Sungai Kapuas cukup menjanjikan hasil perikanan air tawar yang cukup besar. Tidak hanya itu, sungai Kapuas juga digunakan sebagai jalur transportasi air yang masif di provinsi Kalimantan Barat, sehingga masyarakat Kalimantan Barat berusaha berbondong-bondong mendekati dan mendekatkan pemukimannya di pinggir sungai agar mendapat akses lebih mudah," terang Firsta.
Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki bentuk lahan Fluvial, mempengaruhi kebiasaan masyarakat pada pemilihan konstruksi bangunan untuk pemukiman.
Masyarakat Kalimantan Barat melakukan adaptasi dengan menyesuaikan bentuk atau konstruksi bangunan yang cocok untuk tinggal di sekitar sungai dan dapat mengantisipasi luapan air sungai sewaktu-waktu.
Adaptasi yang dilakukan tersebut adalah berupa konstruksi bangunan panggung hingga semi panggung.
"Masyarakat beradaptasi dengan membuat bangunan pemukiman dengan konstruksi panggung di bagian pondasi rumah, dengan bahan yang terbuat dari kayu keras dipadu dengan lantai papan, kemudian ditambah semen dan ubin di atasnya, masyarakat sering mengistilahkan dengan “ubin tempel”.
Adaptasi model pertama ini dilakukan oleh masyarakat yang bermukim pada lini yang agak jauh dari bibir sungai.
Adaptasi model kedua yang dilakukan masyarakat adalah membuat rumah kayu dan panggung tinggi di bibir sungai," urai Firsta.
Pada adaptasi kedua, yakni pemukiman di bibir sungai, dapat dijelaskan bahwa masyarakat yang bermukim di bibir sungai membangun konstruksi rumah panggung dan kayu dengan pertimbangan tinggi sehingga terhindar dari kenaikan muka sungai.
Sedangkan pemilihan bahan dari kayu untuk seluruh bagian rumah dilakukan dengan pertimbangan massa kayu yang ringan dan membuat bangunan aman tidak semakin turun ke dasar sungai yang lunak.
Muncul konektivitas yang kuat terhadap kebiasaan masyarakat Kalimantan Barat, yang lebih banyak memilih daerah pinggir sungai atau yang biasa disebut bantaran sungai (drainage area).
Masyarakat lebih memilih bermukim di bantaran sungai (Sungai Kapuas) dengan alasan penghidupan dan mata pencaharian.
Masyarakat menggunakan sungai sebagai salah satu alat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, seperti mandi dan mencuci.
Juga sebagai sarana untuk bermata pencaharian dengan penangkapan ikan jenis air tawar yang cukup menjanjikan dari sungai Kapuas, juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi air di wilayah provinsi Kalimantan Barat untuk menghubungkan antar kabupaten atau kota.
"Selain daripada sarana untuk memenuhi kebutuhan, bentuk lahan Fluvial di provinsi Kalimantan Barat juga mempengaruhi bentuk atau konstruksi bangunan untuk pemukiman," katanya.
Dari paparan di atas dapat dijelaskan bahwa pada nyatanya semakin menguatkan bahwa iklim dan bentang lahan semakin menampakkan konektivitasnya pada karakteristik pemukiman masyarakat di wilayah Kalimantan Barat.