Bu Eha, Veteran Pemilik Warung Nasi Legendaris di Bandung, Presiden Soekarno Sering Pesan Makanan
Warung Nasi Bu Eha terletak di Pasar Cihapit yang berlokasi di Jalan Cihapit Bandung.
Editor: Johnson Simanjuntak
![Bu Eha, Veteran Pemilik Warung Nasi Legendaris di Bandung, Presiden Soekarno Sering Pesan Makanan](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/ibu-eha-nih2_20170722_153644.jpg)
Laporan wartawan Tribun Jabar, Rezeqi Hardam Saputro
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Meski sudah sangat berumur, perempuan ini tetap semangat mengelola bisnis warung nasinya yang sudah puluhan tahun berdiri.
Adalah Eha, perempuan berusia 87 tahun yang berhasil mendirikan warung nasi masakan sunda yang sangat populer di Kota Bandung.
Warung Nasi Bu Eha terletak di Pasar Cihapit yang berlokasi di Jalan Cihapit Bandung.
Saat ditemui wartawan TribunJabar.co.id di Warung Nasi Bu Eha, Sabtu (22/7/2017), Eha mengaku warung nasi ini telah dirintis sejak tahun 1947.
"Jadi awalnya dulu ibu saya, Enok yang mendirikan warung nasi ini pada tahun 1947 dan akhirnya sekira pada tahun 1960, saya mewarisi seluruh resep masakan dan meneruskan usaha ini," ujar perempuan yang kini telah mempunyai 27 cucu ini.
Eha juga bercerita ibunya sempat menutup warung ini sekira tahun 1948 karena keadaan bangsa ini sedang tidak kondusif.
"Karena ada Agresi Militer Belanda, warung ini sempat tutup karena siapa juga yang mau beli," ujar Eha sambil tertawa.
Agresi Militer Belanda II, lanjut Eha, membuatnya harus ikut Long March Siliwangi melewati Cirebon menuju Yogyakarta bersama Ibunya.
Pada saat itu Eha dan Ibunya menjabat sebagai Tentara Keamanan Rakyat dan sempat berpisah sekira tiga tahun sampai akhirnya bertemu lagi di Bandung.
"Saya sempat pisah dengan Ibu selama tiga tahun sampai saya berpikir Ibu sudah meninggal tapi alhamdulillah akhirnya saya bertemu kembali sama Ibu di Bandung," jelas Eha sambil melayani pembeli di warung nasinya.
Saat bertemu Ibunya, Eha dan Ibunya kembali merintis warung nasi ini.
Eha juga bercerita sekira tahun 1960, Presiden Soekarno sering memesan makanan di warungnya melalui mantan istrinya, Ibu Inggit Ganarsih.
"Jadi dulu mertua saya, Aisyah adalah temen deketnya Ibu Inggit. Kalau Pak Soekarno datang ke Bandung, Ibu Inggit bersama mertua saya selalu pesan makanan di warung," ujar Eha.
Eha mengatakan Ibu Inggit, panggilan akrab Inggit Ganarsih, selalu memesan pepes ayam dan ikan mas dari warungnya untuk Pak Soekarno.
Saat ini Eha sendiri terlihat sudah begitu tua dan tubuhnya sudah tidak tegak lagi, namun hal tersebut tidak mengurangi kepiawaiannya mengelola warung nasinya yang semakin dikenal di Kota Bandung.
Meski sudah ada sekira tujuh orang karyawan, Eha mengaku masih harus membantu belanja bahan dasar hingga memasak.
Saat ditanya mengenai rahasia dibalik suksesnya Eha mengelola warung nasi ini, Eha hanya mengatakan berkerja dengan ikhlas dan semata-mata karena Allah.
Warung Nasi Bu Eha sendiri menjual makanan khas Sunda semisal pepes ikan, pepes ayam, perkedel, ayam goreng, ikan goreng, paru, gepuk, urap, soto dan masih banyak lagi.
Ibu Eha mengaku sehari ia bisa mendapatkan omset berjuta-juta.
"Alhamdulillah sehari bisa dapat sekira Rp 5 juta, karena untuk beli ikan, ayam, dan daging sapi saja sudah sekira Rp 2 juta," ujar Bu Eha sambil tersenyum.
Pantauan TribunJabar.co.id, puluhan orang bergantian mengambil makanan sendiri-sendiri di warung Bu Eha, karena sistem di warung Bu Eha ini adalah prasmanan.
Ada sekira 24 kursi plastik dan empat meja besar di Warung Nasi Bu Eha ini.
Di dinding warung terdapar foto-foto Presiden Soekarno yang menurut Bu Eha adalah pemberian dari keluarga Soekarno di Blitar.
Warung Nasi Bu Eha buka setiap hari Senin sampai hari Sabtu dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.
Kalimat Terakhir
Presiden pertama Indonesia, Soekarno tercatat pernah menuntut ilmu di Kota Bandung sekira tahun 1920.
Pada saat menjalani studinya di Bandung, Soekarno menjalin asmara dengan Inggit Garnasih yang merupakan ibu pemilik rumah dimana Soekarno tinggal.
Meski sudah bersuami, Soekarno nekat tetap meminta izin kepada suami Inggit Garnasih, H Sanusi untuk menikahi Inggit Ganarsih.
Akhirnya setelah mendapatkan izin, Soekarno menikahi wanita yang lebih dikenal dengan nama Ibu Inggit ini pada tahun 1923.
Setelah menikah, Ibu Inggit dan Soekarno membeli sebuah rumah di Jalan Ciateul Bandung yang kini dikenal dengan nama Jalan Inggit Garnasih.
Sampai saat ini, rumah Ibu Inggit masih berdiri kokoh, namun telah beralih fungsi menjadi museum rumah bersejarah Inggit Garnasih.
Di dalam rumah Ibu Inggit sendiri saat ini dapat ditemukan dokumentasi foto-foto Ibu Inggit bersama Presiden Soekarno serta keluarga Ibu Inggit.
Selain itu terdapat replika batu pipisan yang digunakan Ibu Inggit untuk membuat jamu dan bedak.
Saat ditemui wartawan Tribun Jabar, Kamis (20/7/2017), Jajang perawat sekaligus pemandu wisata di rumah ini mengatakan Ibu Inggit mengabiskan sisa hidupnya dirumah ini.
"Selama 20 tahun Ibu Inggit dan Soekarno hidup bersama, namun akhirnya harus berpisah. Setelah berpisah Ibu Inggit menghabiskan sisa hidupnya di rumah ini," ujar Jajang.
Jajang mengatakan setelah berpisah dengan Soekarno, Ibu Inggit tidak pernah bertemu dengan Soekarno sampai pada akhirnya pada tahun 1960 Ibu Inggit bertemu lagi.
Berdasarkan catatan sejarah, Jajang mengatakan saat Ibu Inggit bertemu Soekarno, ia hanya berkata "Kus, baju teh meni sae. Kahade kus ieu baju teh ti rakyat, ulah mapohokeun saha nu merena".
Kalimat bebahasa sunda yang dilontarkan Ibu Inggit tersebut memiliki arti "Kus (Soekarno), bajunya bagus sekali. Awas kus baju ini dari rakyat, jangan melupakan siapa yang memberinya".
Begini perjuangan Inggit Garnasih dan Soekarno lawan kerasnya tembok penjara
Lapas Sukamiskin Bandung menjadi saksi dari kisah perjuangan presiden pertama RI, Ir Soekarno, dan mantan istrinya, Inggit Garnasih.
Bung Karno pernah menjalani hukuman sejak 9 Desember 1930 hingga 31 Desember 1931.
Tembok penjara ternyata tak mampu mematikan komunikasi di antara Bung Karno, sapaan Soekarno, dan Inggit Garnasih.
Bung Karno mempunyai siasat untuk mendapatkan informasi dari luar penjara.
Ketika itu, Bung Karno dibolehkan oleh pihak penjara Hindia Belanda untuk menerima kiriman makanan.
Makanan tersebut antara lain berupa telur yang dibawa oleh istrinya, Inggit Garnasih.
Telur itulah yang menjadi alat komunikasi untuk mengabarkan keadaan di luar penjara Sukamiskin.
Jika Inggit Garnasih mengirim telur asin, Soekarno tahu ada kabar buruk di luar penjara.
Biasanya, kabar buruk yang menimpa rekan-rekan seperjuangan Bung Karno.
Dari pantauan Tribun Jabar, di bekas sel tahanan Soekarno di Lapas Sukamiskin, Kamis (20/7/2017), ada poster yang mengisahkan taktik Bung Karno berkomunikasi dengan Inggit Garnasih.
Sejak Indonesia merdeka, sel tahanan bernomor TA 01 di Lapas Sukamiskin sengaja dikosongkan untuk mengenang perjuangan Bung Karno.
Lapas Sukamiskin ada di Jalan A H Nasution No.114, Cisaranten Bina Harapan, Arcamanik, Kota Bandung. (TribunJabar.co.id/Ery Chandra)