Kisah Mertolulut dan Singonegoro, Dua Algojo Kerajaan Yogyakarta Tempo Dulu
Di antara mereka yang duduk di kursi mengelilingi meja itu, satu sosok berkumis tampak garang memandang ke arah kamera.
Editor: Dewi Agustina
Satu berkumis agak bapang ini Mertolulut, satunya klimis itulah citra Singonegoro.
Setiap pemandu wisata yang bertugas akan mengajak para pengunjung yang dibimbingnya berhenti di lokasi ini, dan menceritakan pada mereka siapa Mertolulut dan Singonegoro, dua algojo kerajaan ini.
Sedangkan lokasi eksekusi menurut Daliman, dulu dilakukan di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Biasanya di antara dua pohon beringin yang ada di tengah lapangan luas itu.
"Kalau pengadilannya ya di Bangsal Ponconiti di Kemandungan Lor," imbuh Daliman.
Dinamai Ponconiti karena maknanya ponco itu lima, niti itu hal atau masalah.
Jadi umumnya ada lima hal atau perkara yang biasanya diselesaikan proses hukumnya di bangsal ini. Lima hal itu menyangkut pelanggaran mabuk, madat, madon, mencuri, dan membunuh.
Sesudah hukuman dijatuhkan pengadilan, Mertolulut dan Singonegoro dipanggil untuk mengeksekusi hukumannya atas perintah raja.
"Prosedurnya para algojo ini ya, terpidana ditutup wajahnya, kemudian eksekusi disaksikan banyak orang," ujar Mada Karisma menggambarkan proses eksekusi pada masa silam.
Kadang terhukum dipamerkan beberapa lama di ruang terbuka agar selain publik mengetahui, juga supaya efek takut dan patuh terbangun sesudahnya.
Supriyanto, pemandu turis yang biasa bertugas di Pagelaran dan Sitihinggil mengaku hapal dengan versi cerita sejarah Mertolulut dan Singonegoro.
"Ini potongan cerita yang wajib disampaikan ke turis sebelum naik Sitihinggil," katanya.
Postingan Mada Karisma di akun FB komunitas KKJ memantik rasa ingin tahu sejumlah warganet.
Baca: Kekayaan Dokter Katsuya Takasu Dihabiskan untuk Membantu Orang Susah di Jepang dan Luar Negeri
Sebagian takjub atas cerita singkat itu dan ingin mendapatkan kisahnya lebih lengkap.