Wow, Sekolah Gratis bagi Anak Tunarungu di Semarang Ini Ajarkan Menari dan Main Angklung
Teriakan anak-anak riuh terdengar di Rumah Pintar Efata, Jalan Lemahgempal V/14, Semarang Selatan, belum lama ini.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Bakti Buwono
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Teriakan anak-anak riuh terdengar di Rumah Pintar Efata, Jalan Lemahgempal V/14, Semarang Selatan, belum lama ini.
Puluhan anak tengah berkumpul merayakan lomba HUT ke-72 Kemerdekaan RI.
Mulai dari memasukkan pensil dalam botol hingga lomba makan kerupuk.
Mereka adalah siswa Rumah Pintar Efata, sekolah gratis khusus Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan gangguan pendengaran.
"Ayo-ayo, cepat! Kerupuknya sudah mau habis, jangan pakai tangan!" kata seorang ibu sambil memakai bahasa isyarat untuk menyemangati anaknya.
Anak itu buru-buru menurunkan tangan, kemudian melahap habis kerupuk di depannya.
Baca: Gondol Tas, Setelah Isinya Dikuras Habis, Maling di Bali Ini Mengembalikannya Lewat Ojek Online
Pendiri Rumpin Efata adalah Windi Aria Dewi.
Menurutnya, kegiatan itu bertujuan memupuk rasa nasionalisme anak-anak asuhannya.
Dia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka sama saja dengan anak normal lain, tak ada bedanya.
"Lihat saja, mereka gembira ikut lomba 17-an seperti anak lain," kata perempuan berkacamata itu.
Rumpin Efata berdiri sejak empat tahun lalu.
Baca: Pengemudi Mabuk, Mobil Mazda Terbang di Depan Polsek Tanjung Duren, Hantam Mobil Polisi
Windi dan sesama orangtua penyandang disabilitas merasa resah karena di Semarang belum ada sekolah nonformal yang menampung bakat anak-anaknya.
"Saya sendiri punya anak dengan gangguan pendengaran karena terinfeksi virus Measles rubella saat hamil anak keempat. Jadi kalau ada imunisasi campak rubella, saya mendukung sekali," jelasnya.
Sistem pembelajaran di rumah pintar ini tak mengarah penggunaan bahasa isyarat bagi anak-anak tunarungu.
Justru Windi dkk menekankan cara bicara dan interaksi langsung.
Dia juga mengajarkan menari, bermain angklung, modeling, melukis, dan keterampilan lain.
Bagaimana cara anak-anak kekurangan pendengaran belajar menari dan bermain angklung?
"Kami menggunakan ketukan (nada) untuk mengajari mereka. Hasilnya luar biasa," tuturnya.
Seorang ayah pelajar Rumpin Efata, Slamet Kaswanto, mengaku amat terbantu keberadaan lembaga ini.
Anaknya mengalami kekurangan pendengaran sejak umur dua tahun.
Baca: Menteri Susi: Jokowi Dukung Kapal Pencuri Ditenggelamkan
"Semula sakit panas. Setelah itu kami sadar kalau pendengaran anak kami kurang," ujar Slamet.
Gangguan pendengaran menyebabkan sang anak sulit bersekolah.
Dari lima TK, hanya ada satu sekolah yang mau menerimanya.
Adanya sekolah gratis untuk tunarungu seperti Efata cukup membantunya mendidik anak.
Lurah Barusari, Rubiyanto, berjanji akan menyosialisasikan keberadaan Efata.
Ia senang ada sekolah nonformal gratis untuk anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran di wilayahnya.
"Kami akan ikut sosialisasikan supaya penanganan anak dengan gangguan pendengaran tidak terlambat," papar Rubiyanto. (*)