Cerita Mistis di Waduk Jatigede, dari Ular Sepanjang 4 KM sampai Legenda Keuyeup Bodas
Meski secara resmi baru dibuka dua tahun lalu, Waduk Jatigede sudah memiliki banyak cerita mistis yang tersebar di sekitar waduk.
Editor: Ravianto
Abah Tisna mengaku tidak bisa beradaptasi ketika lingkungannya berubah menjadi pesisir waduk yang luas.
Dirinya mengaku tidak bisa berenang apalagi menyelam, juga tidak bisa memancing apalagi menggunakan perahu.
"Saya sudah terlalu tua untuk belajar, belajar berenang pun tidak berani, sulit paham," ujar Abah Tisna.
Karena itu kini, Abah Tisna tidak lagi memiliki pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.
Uang ganti rugi dari pemerintah hanya cukup untuk membangun rumah alakadarnya, tak cukup bila sekaligus membeli lahan pertanian.
Maka, ketika Waduk Jatigede surut, nalurinya sebagai petani tidak bisa ditahan lagi, Abah Tisna menanami lahan basah tersebut dengan kacang tanah.
"Kalaupun rugi atau air naik sebelum panen, ya tidak apa-apa, ikhlas saja, setidaknya saya sudah ikhtiar," ujarnya.
Abah Tisna berharap ada bantuan bagi orang-orang sepuh sepertinya yang sudah tidak mungkin belajar menjadi nelayan atau menggunakan perahu.
Bertani di lahan surut Waduk Jatigede merupakan hal yang beresiko besar.
Katakan saja, bagaimana bila tanaman baru setengah tumbuh dan air sudah datang kembali? Hasilnya seratus persen rugi.
Namun hal tersebut terpaksa dilakukan oleh Abah Tisna (65), warga Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.
Ketika bertemu Tribun Jabar di pantai Desa Pakualam Waduk Jatigede, Abah Tisna sedang menyirami lahan taninya agar tanahnya basah.
Lahan garapannya, yang hanya berjarak sekira sepuluh meter dari pekuburan Astanagede tersebut, sebetulnya merupakan lahan rendaman Waduk Jatigede.
Saat ini Waduk Jatigede sedang surut selama musim kemarau, sehingga tanah yang dulunya lahan tani milik Abah Tisna kembali muncul.
"Kalau biasanya mah tanah ini tenggelam, air itu sampai ke pohon jati di sebelah Astanagede," ujar Abah Tisna.
Saat ini, jarak lahan taninya dengan pesisir Waduk Jatigede hanya berjarak sekira dua puluh meter.
Sebetulnya, yang dilakukannya saat ini, yaitu bercocok tanam di lahan surut Waduk Jatigede, merupakan hal yang beresiko.
Tidak ada yang tahu, termasuk Abah Tisna sendiri, berapa lama lagi Waduk Jatigede akan surut.
Seandainya air waduk kembali ke elevasi semula sebelum Abah Tisna memanen hasil jerih payahnya, maka sudah pasti kakek itu tidak akan mendapatkan untung apapun.
"Tapi tidak apa-apa, saya mah pasrah saja kalau memang rugi nanti, ini mah usaha saja," ujar Abah Tisna.
Abah Tisna berharap dirinya dapat memanen hasil taninya sebelum air Waduk Jatigede kembali ke elevasi semula.
Surut, Waduk Jatigede Ditanami Padi
Waduk Jatigede yang surut dimanfaatkan warga Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, untuk ditanami padi.
Meskipun belum pasti berapa lama tanah tersebut akan kering, warga nekat mengubahnya menjadi sawah.
Satu di antara alasan masyarakat mengubah pantai Waduk Jatigede menjadi sawah adalah karena faktor ekonomi.
Hal tersebut diungkapkan Ado Kasdi (50), warga Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, ketika ditemui Tribun Jabar di pantai Waduk Jatigede, Minggu (27/8/2017).
Gadis ini Dulu Dipaksa Operasi Payudara Usai jadi Juara Kontes Kecantikan, Begini Nasibnya Sekarang https://t.co/aOEIraw8QW via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) August 27, 2017
"Ada yang ditanami pada ada juga yang ditanami tanaman lain, tergantung tanahnya masih berair atau kering sekali," ujar Ado Kasdi.
Menurutnya, alasan utama warga menanam padi di lahan kering Waduk Jatigede adalah karena tuntutan ekonomi.
Warga berharap bisa mendapat pemasukan tambahan dari hasil panen tanaman yang mereka tanam tersebut.
Ini karena banyak warga Orang Terkena Dampak (OTD) Waduk dan Bendungan Jatigede belum memiliki pekerjaan tetap setelah digusur untuk kepentingan Waduk.
"Padahal belum pasti juga mereka akan menikmati panen sawah itu, kan tidak tahu Waduk Jatigede akan surut berapa lama," ujar Ado Kasdi.(*)