Nama Jalan Padjajaran & Siliwangi Ada di Yogyakarta, Aher: Ini Sejarah Besar
Ruas jalan arteri atau ring road di Yogyakarta kini resmi berubah nama menjadi jalan Padjajaran dan jalan Siliwangi.
Editor: Content Writer
Ruas jalan arteri atau ring road di Yogyakarta kini resmi berubah nama menjadi jalan Padjajaran dan jalan Siliwangi.
Perubahan kedua nama jalan tersebut telah dituangkan melalui Keputusan Gubernur DIY nomor 166/Kep/2017 tentang Penamaan Jalan Arteri (Ring Road) Yogyakarta dan telah ditandatangani oleh Gubernur DI Yogyakarta tanggal 24 Agustus 2017.
Jalan Padjajaran sepanjang 10 Km mulai dari simpang empat Jombor hingga simpang tiga Maguwoharjo dan jalan Siliwangi sepanjang 8,58 Km dari simpang empat Pelem Gurih hingga simpang empat Jombor ini, diresmikan langsung oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di area Simpang Empat Jombor Sleman, Yogyakarta, Selasa (03/10/2017).
Turut hadir pula Netty Prasetyani Heryawan, anggota DPR RI Popong Otje Djunjunan, Walikota Bandung Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Timur yang diwakili oleh Sekda Ahmad Soekardi serta perwakilan dari Mahkamah Agung.
Gubernur Aher menyambut baik penamaan dua ruas jalan yang merupakan nama raja dan kerajaan sunda pada abad ke-14 ini yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Menurutnya, hal tersebut merupakan sejarah besar dan rekonsiliasi budaya yang akan semakin mengokohkan persaudaraan dua suku besar di Indonesia yaitu suku Jawa dan Sunda.
"Ini gagasan yang sangat baik dan membangun sebuah persaudaraan yang kokoh antara dua suku besar di indonesia.
Aher mengungkapkan, sejarah masa lalu yaitu peristiwa Pasunda Bubat atau Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357 lalu tak dipungkiri mengganggu hubungan emosinal antara suku Jawa dan Sunda.
"Memang ada ganjalan psikologis berupa peristiwa sejarah yang sering mengganggu hubungan emosional antara suku Sunda dan Jawa yaitu persitiwa Pasunda Bubat atau Perang Bubat di tahun 1357 atau sekitar 600 tahun yang lalu. Peristiwa ini tak jarang muncul pada emosi kolektif kedua belah pihak yang muncul pada saat-saat tertentu," ungkapnya.
Misalnya, lanjut Aher, seperti dalam kebiasaan perkawinan, dimana ketika ada perempuan Jawa dipinang oleh pria Sunda hal itu tidak diperbolehkan. Sebaliknya yang boleh adalah laki-laki Jawa menikahi perempuan Sunda.
"Masih ada seperti itu meskipun seiring berjalannya waktu peristiwa tersebut makin terkikis dan sekarang sudah tidak ada," ungkapnya.
Aher pun menegaskan bahwa peristiwa masa lalu hanyalah sebatas untuk dikenang dan jangan sampai menimbulkan persoalan atau permusuhan di masa kini.
"Tentu saja peristiwa masa lalu hanya untuk dikenang dan tidak boleh menimbulkan persoalan apalagi permusuhan sampai masa kini pada anak cucu dari kedua etnis besar ini," terang Aher.
"Karena itu kita sepakat perasaan atau sentimen negatif yang dipicu peristiwa masa lalu perlu kita akhiri. Alhamdulillah hambatan-hambatan tersebut hari ini diakhiri di Yogyakarta," tambahnya.