Ini Curhat Staf Ahli Non Aktif Bupati Paser Tersandung Korupsi
Kini Bahruddin hanya bisa mencurahkan perasaannya kepada media, karena binggung harus mengadu kemana
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BALIKPAPAN -- BAHRUDDIN, staf ahli non aktif Bupati Paser terpaksa harus menjalani hukuman 1 tahun 8 bulan kurungan, karena dianggap bersalah dalam kasus dugaan korupsi pengadaan excavator program peningkatan budidaya ikan di Paser, 2009 lalu.
Kini Bahruddin hanya bisa mencurahkan perasaannya kepada media, karena bingung harus mengadu kemana.
Baca: Tak Dapatkan Pemandu Lagu Cantik, Oknum Polisi Mabuk Diduga Menambakkan Pistol Menganai Cewek
"BINGUNG sudah kami mas. Hukum kok seperti ini. Sempat terpikir, apa saya datangi saja Kapolda. Saya tunggui di depan pintu rumahnya, kemudian saya jelaskan perkara kasus suami yang sebenarnya, biar semuanya jelas," ujar Salmah, istri Bahruddin, Staf Ahli Non Aktif Bupati Paser.
Rabu (4/10/2017) kemarin, di salah satu rumah makan di Samarinda, Tribun bertemu dengan Bahruddin bersama istrinya Salmah. Bahruddin lesu, wajahnya seperti orang tak tidur satu malam. Bagaimana tidak, tersandung kasus korupsi yang diklaimnya tak pernah dilakukan, membuatnya harus membayar hukuman denda sekitar Rp 200 juta ditambah 1,8 bulan kurungan penjara.
Ia bingung, anak masih ada 6 orang, sementara istrinya hanyalah guru honor di Paser. Belum lagi dua anaknya yang saat ini masih kuliah yang juga harus dibiayai.
"Akibat kasus ini, sejak Desember lalu, saya sudah non aktif sebagai Staf Ahli Bupati. Gaji hanya terima gaji pokok saja. Sementara, anak ada 6 orang harus dibiayai. Piring nasi saya pecah. Anak yang kedua sampai harus berhenti kuliah. Saya juga bahkan sudah utang ke bank hingga Rp 60 juta. Kalau bisa teriak, saya ingin teriakkan semuanya. Kalau disuruh membayar, uang darimana? Masa saya harus membayar untuk hal yang tak saya lakukan?," ujar Bahruddin.
Kebingungan pun Tribun lihat saat ia menjelaskan perkara yang dialami. Tangannya tak bisa diam. Sesekali mengambil berkas, kemudian menaruhnya kembali, lalu mengambil berkas yang lain. Makanan yang sudah dihidangkan pun tak ia makan. "Saya merasa ditipu. Tragis. Saya si sengsara," ucapnya.
Kejadiannya pada 2009 lalu. Saat itu Bahruddin menjabat Kabid Budidaya Perikanan merangkap Ketua Pokja penyewaan excavator. Dalam peningkatan budidaya ikan di Paser, petani kemudian menyewa excavator kepada pokja.
Tetapi, dalam pelaksanaannya, dari tiga penyewa, hanya 1 orang yang sudah membayar lunas. Sementara dua penyewa lainnya, tak bisa memenuhi kewajiban pembayaran, ditambah adanya kejadian tenggelamnya excavator.
Anehnya, belum jelas proses pembayaran sewa excavator oleh petani, ia kemudian disangkakan telah menerima uang hasil penyewaan excavator tersebut. Baharuddin pun menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Samarinda.
"Dari persidangan itulah, saya benar-benar merasa tertipu. Bendahara saya di Pokja menyebut bahwa ada kuitansi pembayaran yang telah dibuat untuk pembayaran excavator. Bagaimana bisa ada kuitansi, sementara pembayaran sama sekali tak saya terima. Parahnya lagi, dalam persidangan, semua anggota Pokja menjadi saksi dari Jaksa Penuntut Umum, sementara saksi untuk saya tak ada sama sekali.," katanya.
Bahruddin pun heran, mengapa Bendara Pokja serta Kadis Perikanan dan Kelautan Paser saat itu tidak menjelaskan secara terus terang, akan fakta-fakta kuitansi yang diklaimnya adalah kuitansi palsu tersebut.
"Ya, saya tak tahulah mengapa begitu," ujarnya. Hingga kini, Bahruddin masih mencoba banding atas putusan pengadilan. Ia pun saat ini juga mencoba meminta pengguhan penahanan, karena stastusnya merupakan kepala keluarga.
"Sudah minta agar tidak ditahan dahulu. Gaji saya sebagai guru honor hanya Rp 700 ribu sebulan. Bapak sudah tak terima gaji, di luar gaji pokok sejak Desember. Sementara kami harus membiayai anak-anak. Itulah kenapa kami ingin keadilan bisa diberikan ke kami," kata Salmah, istri Bahruddin. (anj)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.