Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Orang Sunda dan Jawa Berhentilah Bermusuhan

“Punten Kang, apakah tadi ada orang lewat sini?. Orang? Tidak ada orang lewat sini. Tapi tadi ada Jawa yang lewat.”

Editor: Content Writer
zoom-in Orang Sunda dan Jawa Berhentilah Bermusuhan
intisari
ilustrasi 

“Punten Kang, apakah tadi ada orang lewat sini?”
“Orang? Tidak ada orang lewat sini. Tapi tadi ada Jawa yang lewat.”

Anekdot yang sarkastik semacam itu kadang masih sering kita dengar di beberapa daerah di Jawa Barat, khususnya yang didiami oleh orang Sunda. Banyak anekdot dan mitos yang mewarnai hubungan kurang harmonis antara orang Jawa dengan Sunda.

Alam bawah sadar sebagian orang Sunda sudah lama terbangun/dibangun perasaan tidak suka dengan orang Jawa.

“Warisan” buruk itu erat kaitannya dengan sejarah, bercampur mitos dari Perang Bubat yang terjadi 600 tahun lalu (1357 M).

Perang Bubat adalah cerita cinta yang berakhir menjadi tragedi. Latar peristiwanya sangat menarik, karena berkaitan dengan politik, perebutan pengaruh dan kekuasaan antara Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan Kerajaan Galuh (Pajajaran) di Jawa Barat.

Majapahit yang memiliki seorang mahapatih bernama Gajah Mada saat itu adalah negara adikuasa. Hampir semua kerajaan di Nusantara berhasil ditaklukkan. Namun Kerajaan Galuh belum berhasil ditaklukkan.

Raja Hayam Wuruk dari Majapahit saat itu tengah mencari permaisuri. Dia jatuh cinta pada seorang putri cantik jelita Diah Pitaloka dari Kerajaan Galuh di Kawali (Ciamis) yang dilihatnya pada sebuah lukisan.

Berita Rekomendasi

Hayam Wuruk melamar Diah Pitaloka dan mereka sepakat menikah. Selain soal asmara, pernikahan ini diduga sebagai upaya penaklukan Majapahit melalui perkawinan.

Singkat cerita Raja Lingga Buana dari Galuh ditemani oleh sejumlah punggawanya mengantar Diah Pitaloka ke Majapahit. Sesampainya di Bubat yang berada di sebelah utara Trowulan, ibukota Majapahit, terjadi kesalahpahaman.

Rombongan kecil ini dikepung oleh pasukan Gajahmada. Terjadi perang tanding yang tidak seimbang. Raja Lingga Buana dan para punggawanya terbunuh. Diah Pitaloka dan para dayang penggiringnya kemudian memilih bunuh diri (belapati).

Sejak itu penerus Raja Lingga Buana yang kemudian dikenal sebagai Siliwangi mengeluarkan sebuah larangan (pamali) estri ti luaran alias larangan bagi para lelaki Sunda untuk menikahi perempuan Jawa.

Larangan dengan berbagai pamali ikutan lainnya itu diwariskan dan dilestarikan secara turun temurun melalui sebuah kisah_Pasunda Bubat_ dalam_kidung Sundayana_. Kidung itu sering dinyanyikan dalam pagelaran budaya, bahkan ketika seorang ibu menina-bobokan anaknya. Akibatnya rasa kecewa, marah terhadap Gajahmada menjadi memori kolektif kemarahan orang Sunda kepada semua orang Jawa.

Dampak dari Kidung Pasunda Bubat –kendati tidak sama hebatnya-- barangkali bisa disamakan dengan syair Hikayat Prang Sabi (hikayat Perang Sabil) yang banyak didendangkan ibu-ibu di Aceh untuk mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah kafir Belanda.

Bedanya Hikayat Perang Sabil ditujukan untuk mengobarkan semangat mengusir penjajah. Sementara Perang Bubat ditujukan kepada orang Jawa sebagai sesama anak bangsa dan secara kultur dekat dan banyak kesamaan.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas