Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Orang Sunda dan Jawa Berhentilah Bermusuhan

“Punten Kang, apakah tadi ada orang lewat sini?. Orang? Tidak ada orang lewat sini. Tapi tadi ada Jawa yang lewat.”

Editor: Content Writer
zoom-in Orang Sunda dan Jawa Berhentilah Bermusuhan
intisari
ilustrasi 

Di Jabar kita tidak akan menemukan nama Jalan Majapahit, Hayam Wuruk, apalagi Jalan Gajah Mada yang dianggap paling berdosa dan penyebab tragedi. Begitu juga sebaliknya nama Pajajaran atau Siliwangi tidak kita temukan di Jawa.

Harus diakhiri

Kesalahpahaman inilah yang ingin diakhiri oleh Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan HB X dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher). Melalui serangkaian pembicaraan, akhirnya diputuskan akan dibuat nama jalan, Pajajaran dan Siliwangi di Yogyakarta. Sebaliknya nama Majapahit dan Hayam Wuruk akan disematkan di beberapa nama jalan di kota-kota di Jabar.

Penyematan nama jalan tersebut merupakan sebuah simbol dari proses awal rekonsiliasi antar kedua etnis terbesar di Indonesia. Etnis Jawa (41%) dan Sunda (16%) merupakan potensi besar yang bila disatukan, setidaknya bisa menyelesaikan sebagian besar persoalan bangsa dan memberi inspirasi untuk integrasi bangsa yang lebih kuat.

Gagasan besar tersebut mulai diwujudkan oleh Sultan HB X Selasa (3/10). Dua buah ruas jalan di Yogyakarta diberi nama Jalan Pajajaran, Jalan Siliwangi, Jalan Majapahit, dan Jalan Brawijaya. Sementara Aher akan segera merealisasikan nama Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk di Jabar.

Aher juga berharap nama Pajajaran dan Siliwangi bisa segera menjadi nama jalan di beberapa kota di Jatim. Dia telah merintisnya dengan bertemu sejumlah pejabat dan para budayawan di Jatim.

"Kita dipenuhi rasa dendam maupun kebencian. Kesalahan di masa lalu perlu dimaafkan. Bagaimana pun bangsa ini menatap ke depan. Rekonsiliasi kultural seperti ini, menjadi bagian melupakan sesuatu sebagai sejarah yang tak perlu diulang," jelas Sultan.

Berita Rekomendasi

Sikap yang sepenuhnya didukung oleh Aher. Menurutnya kesalahpahaman kedua etnis harus diakhiri, karena melahirkan berbagai isu yang kontraproduktif pada bangsa.

Persoalannya tidak hanya berkaitan dengan sektor privat, seperti larangan kawin mawin antara orang Sunda-Jawa, tapi juga sudah merambah ke sektor publik, dalam politik dan pemerintahan.

Di berbagai lembaga pemerintah tingkat pusat, ada preverensi etnis ketika menentukan jabatan di level yang cukup tinggi, seperti eselon I dan II. Di Provinsi Jabar misalnya, dimasa lalu cukup sulit bagi etnis Jawa untuk memegang jabatan yang cukup penting.

Sejak Aher menjadi Gubernur (2008) dilakukan berbagai perubahan kebijakan. Saat ini ada beberapa orang Jawa dan etnis non Sunda yang menjabat sebagai kepala dinas (eselon II) dan beberapa jabatan strategis lainnya. Semuanya baik-baik saja.

Dalam konteks kolonial Belanda, permusuhan kedua etnis ini tampaknya sengaja dipelihara sebagai bagian dari politik pecah belah (devide et impera). Kidung Sundayana yang memuat kisah Pasunda Bubat masuk dalam pelajaran di sekolah-sekolah Belanda di Jabar.

Konflik ini sengaja terus dikipas-kipas oleh Belanda. Padahal sebagai sebuah sejarah, akurasinya perlu dipertanyakan, penuh bias, karena bercampur mitos. Jarak antara serat Pararaton (1474 M) yang menjadi rujukan kidung Sundayana, sangat jauh dengan peristiwa perang Bubat, sekitar 117 tahun. Tidak ada prasasti sebagai sumber otentik yang bisa menjadi rujukan.

Rekonsiliasi kultural yang dirintis Sultan dan Aher sesungguhnya sebuah peristiwa yang sangat penting. Hanya sayangnya tidak begitu mendapat perhatian para penggiat dunia maya. Beritanya tidak viral seperti berbagai kasus hiruk pikuk politik di Jakarta. Tenggelam di tengah kegaduhan penyelundupan senjata, kontestasi jelang pilkada serentak dan Pilpres 2019.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas