Langkah Penambang yang Tinggalkan Merkuri Diapresiasi
Perubahan pola perilaku masyarakat penambang di Kabupaten Poboya, Palu, yang tak lagi memakai merkuri diapresiasi oleh sejumlah pihak.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perubahan pola perilaku masyarakat penambang di Kabupaten Poboya, Palu, yang tak lagi memakai merkuri diapresiasi oleh sejumlah pihak.
Termasuk sejumlah akademisi yang pernah meneliti pencemaran merkuri di lokasi penambangan emas. Mereka yakin kesadaran masyarakat ini telah memberi dampak signifikan bagi perbaikan lingkungan Palu, Poboya dan sekitarnya.
Dosen Agroteknologi di Universitas Tadulako, Isrun Muh Nur menyebutkan, bila memang warga bersepakat tak lagi menggunakan merkuri di area penambangan emas, maka dia yakin kondisi lingkungan pasti membaik.
Sebelumnya, ketika masih melakukan penelitian selama dua tahun bersama-sama dengan universitas asal Jepang hingga tahun 2013, dia mengamati mayoritas penambang tradisional di Toboya, masih punya kebiasaan menggunakan bahan merkuri.
Waktu itu, hasil penelitiannya yang menggunakan empat media, tanah, tanaman, air dan udara, masih diperoleh hasil kalau pencemaran limbah kerap terjadi lewat sekitar belasan ribu mesin tromol atau gelundung, yang setiap digunakan masing-masing memakai hingga 150 mililiter bahan merkuri.
“Jadi kalau tidak ada lagi penggunaan merkuri, maka akan signifikan penurunan pencemarannya. Sebab tadi pencemarannya setiap hari mencapai 150 mililiter dikali 17 ribu sekian tromol dikali penggunaan tiga kali sehari. Jadi penghentian pemakaian merkuri ini dampaknya besar sekali,” terang Isrun, dalam keterangannya, Rabu (4/10).
Sementara buat area yang telah tercemar butuh proses yang tak dapat diprediksi. Tapi kata Isrun, bukan tak mungkin keadaannya dapat terus menurun di masa-masa selanjutnya. Bahan merkuri dapat menguap dalam temperatur panas. Kondisi lingkungan, dengan demikian bisa kembali baik.
Akademisi Universitas Tadolako lainnya, Sandy Purnawan mengungkapkan senada. Pola perilaku masyarakat penambang ini juga diamati positif bagi dia yang pernah meneliti konsentrasi merkuri dalam sedimen di sekitar muara Sungai Poboya di tahun 2012 ini.
Perubahan perilaku ini diyakini akan makin memberi dampak positif bagi lingkungan di Poboya. Sandy, yang penelitiannya bersama dua rekannya berjudul ‘Distribusi Logam Merkuri Pada Sedimen Laut Di Sekitar Muara Sungai Poboya’ itu menceritakan, penelitiannya menunjukkan kalau konsentrasi merkuri dalam sedimen di sekitar muara Sungai Poboya berkisar antara 0,0103 mg/kg – 0,185 mg/kg.
Nilai itu sendiri masih berada di bawah ambang batas yang diizinkan ini, terjadi di tengah kondisi masih maraknya penggunaan merkuri di kawasan tambang emas Poboya pada waktu itu.
Selain itu, Sandy dan teman-temannya waktu itu juga mendapati kalau akumulasi logam Hg dalam sedimen di sekitar muara Sungai Poboya juga tak mengalami penambahan yang signifikan dengan bertambahnya waktu. Diyakini, dengan langkah warga meninggalkan penggunaan merkuri, kondisi lingkungan akan makin baik.
Metode penambangan
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Wira Yudha juga menyambut baik kesadaran warga yang nyatanya telah meninggalkan penggunaan merkuri. Di sisi lainnya, ia menegaskan ada sanksi terhadap penggunaan merkuri.
Apalagi Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata di Jenewa ke dalam UU Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury. Jadi, karena telah disahkan pada tanggal 13 September 2017 lalu, Satya mengatakan ratifikasi ini telah jadi alat dan payung hukum buat aparatur negara untuk melakukan penindakan jika ada penyalahgunaan merkuri.